Kamis, 13 Oktober 2011

Beritamandiri - Tak disadari mungkin diantara kita kadang berpikir negatif terhadap diri kita sendiri. Berfikir negatif bisa terjadi bila ada hal-hal tidak sesuai rencana, atau ekspektasi kita terhadap kita sendiri, meleset. Berpikiran negatif tidak akan membuahkan solusi, kecuali membuat perasaan tambah buruk. Ini kadang berakibat performa kita mengecewakan. Hal ini bisa menjadi lingkaran yang tidak berujung. Jessica Padykula menyarankan sembilan teknik untuk mencegah dan mengatasi pikiran negatif sebagai berikut:
1. Realistis; kita hidup di saat ini.
Memikirkan masa lalu atau masa depan adalah hal yang sering membuat kita cemas. Jarang sekali kita panik karena kejadian masa sekarang. Jika Anda menemukan pikiran anda terkukung dalam apa yang telah terjadi atau apa yang belum terjadi, ingatlah bahwa hanya masa kini yang dapat kita kontrol.
2. Katakan hal positif pada diri sendiri.
Katakan pada diri Anda bahwa Anda kuat, Anda mampu. Ucapkan hal tersebut terus-menerus, kapanpun. Mulailah hari dengan mengatakan hal positif tentang diri sendiri. Apalagi jika hari itu Anda harus mengambil keputusan sulit.
3. Pikiran itu mencipta : percaya pada kekuatan pikiran positif
Jika Anda berpikir positif, hal-hal positif akan datang dan kesulitan-kesulitan akan terasa lebih ringan. Sebaliknya, jika Anda berpikiran negatif, hal-hal negatif akan menimpa Anda. Hal ini adalah hukum universal, seperti layaknya hukum gravitasi atau pertukaran energi. Memang tidak mudah mengubah pola pikir Anda, namun usahanya akan sebanding dengan hasil yang akan Anda peroleh.
4. Jangan berdiam diri.
Telusuri apa yang membuat Anda berpikiran negatif, perbaiki, dan kembali maju. Jika hal tersebut tidak bisa diperbaiki lagi, berhenti mengeluh dan menyesal karena hal itu hanya akan menghabiskan waktu dan energi Anda, juga membuat sesala sesuatu bertambah buruk. Terima apa yang telah terjadi, petik hikmah/pelajaran dari hal tersebut, dan kembalilah maju.
5. Fokus pada hal-hal positif.
Ketika kita sedang sedang berpikiran negatif, seringkali kita lupa akan apa yang kita miliki dan lebih berfokus pada apa yang tidak kita miliki. Buatlah sebuah jurnal rasa syukur. Tidak masalah waktunya, tiap hari tulislahlima enam hal positif yang terjadi pada hari tersebut. Hal positif itu bisa berupa hal-hal besar ataupun sekadar hal-hal kecil seperti ‘hari ini cerah’ atau ‘makan sore hari ini menakjubkan’. Selama Anda tetap konsisten melakukan kegiatan ini, hal ini mampu mengubah pemikiran negatif Anda menjadi suatu pemikiran positif. Dan ketika Anda mulai merasa berpikiran negatif, baca kembali jurnal tersebut.
6. Bergeraklah
Berolahraga melepaskan endorphin yang mampu membuat perasaaan Anda menjadi lebih baik. Apakah itu sekadar berjalan mengelelingi blok ataupun berlari sepuluh kilometer, aktifitas fisik akan membuat diri kita merasa lebih baik. Ketika Anda merasa down, aktifitas olahragalima belas menit dapat membuat Anda merasa lebih baik.
7. Hadapi rasa takut.
Perasaan negatif muncul dari rasa takut. Makin takut Anda, maka makin banyak pikiran negatif dalam diri Anda. Jika Anda takut akan sesuatu, lakukan sesuatu itu. Rasa takut adalah bagian dari hidup namun kita harus bisa menghentikannya.
8. Coba hal-hal baru
Mencoba hal-hal baru juga dapat meningkatkan rasa percaya diri. Dengan mengatakan ya pada kehidupan Anda membuka lebih banyak kesempatan untuk bertumbuh. Jauhi pikiran ‘ya, tapi…’. Pengalaman baru, kecil atau besar, membuat hidup terasa lebih menyenangkan dan berguna.
9. Ubah cara pandang
Ketika sesuatu tidak berjalan dengan baik, cari cara untuk melihat hal tersebut dari sudut pandang yang lebih positif. Dalam setiap tantangan terdapat keuntungan, dalam setiap keuntungan terdapat tantangan.

Minggu, 09 Oktober 2011


Asal usul Bunga Teratai

Diceritakan kembali oleh :
Devi Mega

Dahulu kala ditepi gunung Semeru ada raja yang arif dan bijaksana serta perhatian kepada rakyatnya.Raja itu memimpin kerajaan disana.Raja itu bernama Raja Ranubanu.Raja Ranubanu memiliki putri yang amat cantik yang bernama Dewi Arum.Sang putri memiliki kebiasaan mandi serta senang sekali bermain air.
Pada suatu hari,negara UmbulWenig terserang penyakit.Penduduk desa banyak yang terserang penyakit itu dan banyak penduduk yang tewas.Raja sedih dengan keadaan itu.Sudah banyak tabib yang didatangkan namun tidak berhasil.
Disaat raja sudah pasrah datanglah seorang laki laki yang menghadap raja.Laki laki itu bercerita bahwa dia dapat isyarat bahwa penyakit itu disebabkan oleh salah satu bunga dan bunga itu tumbuh ditenggah danau dan harus diambil oleh putri raja.Raja pun terdiam seketika.
SEtalah memikirkan nasib putrinya,akhirnya putri dipanggil oleh raja.Berangkatlah putri bersama penggawak kesayanggannya.
Setelah menempuh perjalanan yang amat meneganggkan akhirnya sampailah dia disana.Melihat air danau yang sangat jernih dansegar,putri tidak dapat menahan hasratnya untuk berrenang.akhirnya dia mandi sampai lupa wakyu.
Raja dan rakyat setia menunggu kedatangan putri dan pengawalnya.Akhirnya raja menjemput putri dengan perasaaan binggung.
Sesampai disana raja terkejut dan mengumpat putri “Tidak selayaknya kamu menjadi anak raja!!Lebih baik kamu menjadi penunggu danau ini” .Akhirnya putri hilang dan saat itu muncullah bunga teratai yang indah.Dengan persaan menyesal raja membawa pulang bunga itu,dan sembuhlah semua rakyatnya.

AMANAT:JANGANLAH MENYALAHGUNAKAN KEPERCAYAAN ORANG LAIN KEPADA DIRIMU..
NILAI SOSIAL:MENGORBANKAN PUTRI DEMI KESEJATERAAN RAKYATNYA…



Manik Angkeran, Asal Mula Selat Bali

Pada jaman dulu di kerajaan Daha hiduplah seorang Brahmana yang benama Sidi Mantra yang sangat terkenal kesaktiannya. Sanghyang Widya atau Batara Guru menghadiahinya harta benda dan seorang istri yang cantik. Sesudah bertahun-tahun kawin, mereka mendapat seorang anak yang mereka namai Manik Angkeran.

Meskipun Manik Angkeran seorang pemuda yang gagah dan pandai namun dia mempunyai sifat yang kurang baik, yaitu suka berjudi. Dia sering kalah sehingga dia terpaksa mempertaruhkan harta kekayaan orang tuanya, malahan berhutang pada orang lain. Karena tidak dapat membayar hutang, Manik Angkeran meminta bantuan ayahnya untuk berbuat sesuatu. Sidi Mantra berpuasa dan berdoa untuk memohon pertolongan dewa-dewa. Tiba-tiba dia mendengar suara, "Hai, Sidi Mantra, di kawah Gunung Agung ada harta karun yang dijaga seekor naga yang bernarna Naga Besukih. Pergilah ke sana dan mintalah supaya dia mau mernberi sedikit hartanya."

Sidi Mantra pergi ke Gunung Agung dengan mengatasi segala rintangan. Sesampainya di tepi kawah Gunung Agung, dia duduk bersila. Sambil membunyikan genta dia membaca mantra dan memanggil nama Naga Besukih. Tidak lama kernudian sang Naga keluar. Setelah mendengar maksud kedatangan Sidi Mantra, Naga Besukih menggeliat dan dari sisiknya keluar emas dan intan. Setelah mengucapkan terima kasih, Sidi Mantra mohon diri. Semua harta benda yang didapatnya diberikan kepada Manik Angkeran dengan harapan dia tidak akan berjudi lagi. Tentu saja tidak lama kemudian, harta itu habis untuk taruhan. Manik Angkeran sekali lagi minta bantuan ayahnya. Tentu saja Sidi Mantra menolak untuk membantu anakya.

Manik Angkeran mendengar dari temannya bahwa harta itu didapat dari Gunung Agung. Manik Angkeran tahu untuk sampai ke sana dia harus membaca mantra tetapi dia tidak pernah belajar mengenai doa dan mantra. Jadi, dia hanya membawa genta yang dicuri dari ayahnya waktu ayahnya tidur.

Setelah sampai di kawah Gunung Agung, Manik Angkeran membunyikan gentanya. Bukan main takutnya ia waktu ia melihat Naga Besukih. Setelah Naga mendengar maksud kedatangan Manik Angkeran, dia berkata, "Akan kuberikan harta yang kau minta, tetapi kamu harus berjanji untuk mengubah kelakuanmu. Jangan berjudi lagi. Ingatlah akan hukum karma."

Manik Angkeran terpesona melihat emas, intan, dan permata di hadapannya. Tiba-tiba ada niat jahat yang timbul dalam hatinya. Karena ingin mendapat harta lebih banyak, dengan secepat kilat dipotongnya ekor Naga Besukih ketika Naga beputar kembali ke sarangnya. Manik Angkeran segera melarikan diri dan tidak terkejar oleh Naga. Tetapi karena kesaktian Naga itu, Manik Angkeran terbakar menjadi abu sewaktu jejaknya dijilat sang Naga.

Mendengar kernatian anaknya, kesedihan hati Sidi Mantra tidak terkatakan. Segera dia mengunjungi Naga Besukih dan memohon supaya anaknya dihidupkan kembali. Naga menyanggupinya asal ekornya dapat kembali seperti sediakala. Dengan kesaktiannya, Sidi Mantra dapat memulihkan ekor Naga. Setelah Manik Angkeran dihidupkan, dia minta maaf dan berjanji akan menjadi orang baik. Sidi Mantra tahu bahwa anaknya sudah bertobat tetapi dia juga mengerti bahwa mereka tidak lagi dapat hidup bersama.

"Kamu harus mulai hidup baru tetapi tidak di sini," katanya. Dalam sekejap mata dia lenyap. Di tempat dia berdiri timbul sebuah sumber air yang makin lama makin besar sehingga menjadi laut. Dengan tongkatnya, Sidi Mantra membuat garis yang mernisahkan dia dengan anaknya. Sekarang tempat itu menjadi selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dengan pulau Bali.

<-- http://www.seasite.niu.edu/Indonesian/budaya_bangsa/Cerita_Rakyat/default.htm -->

Bertanding Bicara

Alkisah, ada enam orang laki-laki bersaudara. Suatu hari, ayah mereka meninggal dunia dan hanya meninggalkan warisan berupa lima petak sawah. Oleh karena mereka berjumlah enam orang, sedangkan sawah yang diwariskan hanya lima petak, maka masing-masing berebut untuk memilikinya. Setiap orang bersikeras ingin memiliki sepetak sawah, hingga akhirnya terjadilah pertengkaran di antara mereka.

Untuk menengahi agar pertengkaran tidak berkelanjutan, maka orang yang paling tua pun berkata: “Sebaiknya kita bertanding bicara saja. Siapa yang paling besar biacaranya dialah yang akan memiliki seluruh petak sawah yang diwariskan ayah. Janganlah kita bertengkar terus-menerus.” Mereka pun menyetujui pendapat kakaknya.

Setelah itu, mereka lalu duduk berkeliling dan mempersilakan saudara mereka yang paling tua untuk memulai pertandingan. Berkatalah yang tertua: “Pada suatu ketika saya pergi ke hutan dan mendapati sebatang pohon yang sangat besar. Betapa besarnya pohon itu, sehingga saya memerlukan waktu sehari semalam untuk mengelilinginya!” Mengangguk-angguklah saudaranya, yang lain mendengarkan perkataan kakaknya itu.

“Ah, belum hebat itu,” kata adiknya yang nomor dua melanjutkan: “Suatu saat, ketika sedang dalam perjalanan, saya menemui sebuah pahat yang tertancap di tanah. Begitu besar dan tingginya pahat itu hingga ujung gagangnya mencapai langit!”

Menyahutlah adiknya yang nomor tiga: “Masih ada yang lebih hebat dari itu. Suatu ketika saya medapati seekor kerbau yang sangat besar. Begitu besarnya kerbau itu, sehingga ujung tanduknya saja dapat digunakan untuk bermain bola!”

“Ah, belum seberapa itu. Saya pernah mendapati sebatang rotan yang sangat panjang sehingga dapat melingkari bumi ini,” kata adiknya yang nomor empat.

Menyahutlah adiknya yang nomor lima: “Masih ada yang melebihi itu. Saya pernah mendapati sebuah masjid, bahkan saya sempat bersembahyang Jumat di dalamnya. Begitu besar masjid itu sehingga dari tempat saya sholat tidak dapat melihat imam yang ada di muka. Dan, andaikata dapat dilihat pun, besarnya hanya seukuran kuman.”

“Sekarang tinggal giliranmu, adik bungsu. Apa yang akan engkau katakan?” tanya saudaranya yang paling tua.

Si bungsu berkata: “Saya pernah mendapati sebuah bedug yang hanya sekali dipukul mendengung terus-menerus. Bahkan, dengungannya masih dapat didengar sampai sekarang. Cobalah tutup kedua telinga kalian, pasti masih terdengar dengungan itu.”

Saat kelima orang itu menutup telinganya masing-masing, segeralah terdengar dengungan yang sebenarnya hanya angin saja. Dan, karena merasa takjub, sang kakak yang sulung pun segera berkata: “Di mana memperoleh kayu untuk membuat rangka bedug yang dapat mendengung demikian lama?”

“Saya kira engkau pernah mendapati sebuah pohon yang sangat besar yang untuk mengelilinginya saja memerlukan waktu sehari semalam. Nah, pohon itulah yang dijadikan sebagai rangka bedug,” kata si bungsu.

“Lalu, alat apakah yang digunakan untuk membuat rangka bedug itu?” tanya saudaranya yang nomor dua.

“Saya kira engkau pernah melihat pahat yang matanya tertancap di tanah sedang gagangnya di langit? Pahat itulah yang dipakai untuk memahat kayu untuk rangka bedug.”

Menyahutlah saudaranya yang nomor tiga: “Lalu, di mana memperoleh kulit untuk membuat bedug itu?”

“Bukankah engkau tadi mengatakan, pernah melihat kerbau yang sangat besar yang ujung tanduknya saja dapat digunakan untuk bermain bola? Nah, kulit kerbau itulah yang digunakan untuk membuat selaput getarnya. Sedangkan, tanduknya digunakan sebagai alat pemukulnya,” ujar si bungsu.

“Lalu, di mana memperoleh bahan untuk mengikat dan menggantung bedug itu?” tanya saudaranya yang nomor empat.

“Bukankah engkau pernah melihat rotan yang panjangnya dapat melingkari bumi ini? Nah, rotan itulah yang digunakan untuk mengikat dan menggantungkan bedug,” jawab si bungsu.

“Wah, berarti bedug itu memiliki ukuran yang sangat besar. Lalu, di mana tempat menaruh bedug itu?” tanya saudaranya yang nomor lima.

“Loh, bukankah engkau pernah bersembahyang di masjid yang karena sangat besar ukurannya, sehingga sang imam hanya terlihat seperti kuman? Kalau engkau lebih memperhatikan lagi, tentu kau akan menjumpainya. Bedug itu di gantung di salah satu sudut masjid dan digunakan sebagai penanda waktu sholat,” jawab si bungsu.

Mendengar penjelasan si bungsu itu, kelima kakaknya mengangguk-angguk. Dan akhirnya, mewakili keempat saudaranya yang lain, si sulung pun berkata: “Engkaulah yang menjadi pemenangnya, dik. Engkau berhak memiliki seluruh harta warisan dari ayah!”

Sumber:
Rasyid, Abdul dan Muhammad Abidin Nur. 1999. Cerita Rakyat Daerah Wajo di Sulawesi Selatan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

http://uun-halimah.blogspot.com/search/label/cerita%20rakyat

Panglima Lidah Hitam

Pada zaman dahulu kala disebuah puncak bukit di Napo, berkuasa seorang raja yang bernama Raja Balinapa. Raja ini sangat aneh, sudah berkuasa tiga puluh tahun lebih tetapi tidak mau melepaskan tahtanya. Jangankan kepada orang lain, kepada anaknya sendiri ia tak mau mewariskan kekuasaan kerajaannya itu.

Ia ingin berkuasa terus sepanjang masa, padahal semakin hari usianya semakin bertambah. Dan tidak ada manusia yang abadi. Tiap manusia pada akhirnya pasti akan mati.

Raja Balinapa selalu berusaha keras menjaga kesehatan badannya, baik dengan olahraga secara teratur, latihan perang, maupun berburu. Tidak lupa rajin minum jamu dan obat ramuan tabib terkenal, semua itu dilakukannya agar dapat berumur panjang.

Karena tidak mau mewariskan kekuasaanya, maka ia hanya mempunyai anak-anak perempuan. Tiap permaisurinya melahirkan anak laki-laki ia langsung membunuhnya, agar nanti tidak dapat merebut kekuasaan kerajaannya.

Tiap kali Permaisuri hamil ia selalu cemas. Jangan-jangan anaknya laki-laki. Pasti akan dibunuh suaminya. Maka selalu berharap anak yang dikandungnya adalah seorang bayi perempuan.

Pada suatu ketika permaisuri sedang hamil besar, kebetulan pula Raja Balinapa akan berburu ke daerah Mosso. Maka istrinya dibawa serta karena Raja takut kalau permaisuri melahirkan anak laki-laki, pasti permaisuri tidak tega membunuhnya.

Sebelum Raja pergi berburu beliau berpesan kepada Panglima Perang Puang Mosso, ”Jika besok atau lusa saya belum kembali sementara permaisuri melahirkan anak laki-laki, maka bunuhlah anak itu.

Siap Baginda. Segala perintah Baginda pasti hamba kerjakan.” jawab Puang Mosso.

Raja Balinapa memang cerdik. Kekhawatirannya terbukti. Sehari setelah ia setelah berangkat berburu, Permaisuri yang tinggal di Mosso melahirkan bayi laki-laki. Bayi itu memiliki lidah yang berbulu dan berwarna hitam. Oleh karena itu, Puang Mosso binggung ketika memikirkan bayi yang baru lahir itu ternyata seorang bayi laki-laki.

Kalau Raja disini, anak itu pasti disembelih”, katanya dalam hati.

Raja Balinapa tidak saja mempercayakan Puang Mosso untuk mengawasi Permaisuri. Ia juga menugaskan anjing terlatih yang menjadi pengawal raja. Mengetahui Permaisuri melahirkan, anjing pengawal raja yang bertugas menjaga permaisuri segera menjilati sarung bekas bersalin Permaisuri, sehingga meninggalkan darah di moncong si anjing. Selanjutnya anjing tersebut datang menghadap Raja sambil menggonggong terus memperlihatkan darah di moncongnya. Oleh karena itu, Raja Balinapa mengerti bahwa permaisurinya sudah melahirkan.

Sementara itu, Puang Mosso merasa kasihan sekali melihat keadaan bayi laki-laki itu, bayi itu agak lain daripada bayi-bayi kebanyakan. Lidahnya berbulu dan berwarna hitam. Ia tak tega untuk menyembelih bayi itu. Ia mencari akal. Lalu menyembelih seekor kambing dan membuatkan nisan untuk kuburan.

Ketika Raja kembali dari berburu, ia langsung bertanya, ”Apakah Permaisuri sudah melahirkan?

Dijawab oleh Puang Mosso, “Permaisuri melahirkan anak laki-laki dan hamba langsung menyembelihnya sebagaimana pesan Baginda. Marilah hamba antarkan Baginda untuk melihat kuburan anak itu.

Raja bersama Puang Mosso berangkat ke kuburan. Raja pun percaya bahwa anak laki-lakinya sudah disembelih.

Benarkah demikian? Kemana sebenarnya anak itu disembunyikan Puang Mosso? Raja Balinapa sama sekali tidak mengetahuinya.

Hari berganti tahun berlalu. Putra raja itu makin besar, dia sudah pandai belajar dan mengenal orang. Karena khawatir rahasianya akan diketahui oleh Raja nantinya, maka Puang Mosso menitipkan putra raja kepada seseorang yang sedang berlayar ke Pulau Salemo yang jauh dari bukit Napo.

Setelah di Salemo, anak itu semakin tumbuh menjadi remaja. Dia senang memanjat. Suatu hari, ketika ia sedang memanjat pohon, tiba-tiba datang seekor burung Rajawali raksasa yang mencengkeram pundaknya, lalu membawanya terbang ke tempat yang jauh. Sampai di Gowa, burung Rajawali menjatuhkan anak itu ditengah sawah. Seorang petani kebetulan melihatnya saat jatuh dari cengkeraman burung Rajawali. Petani itu melapor kepada Raja Gowa, “Di tengah sawah kami melihat seorang anak yang sangat gagah, berbaju merah. Kalau kita tanya anak dari mana, dia tidak menjawab.

Begitu Raja Gowa mengamati anak itu, segera tertarik dan berkata dalam hati, “Hemm, anak ini bukan sembarangan.” Oleh karena itu dipeliharalah anak tersebut hingga dewasa, diajari segala macam ilmu keperwiraan sehingga menjadi orang yang kuat, gagah dan sakti.

Raja Gowa kemudian dan mengangkat orang yang diterbangkan Rajawali ini menjadi panglima perang. Kalau Raja pergi berperang, pasukannya selalu menang berkat kesaktian panglimanya. Keahliannya di medan perang tak tertandingi.

Berita tentang kesaktian panglimanya terkenal dan tersebar ke berbagai penjuru wilayah. Sehingga Raja Gowa memberi gelar panglimanya I Manyambungi.

Sementara itu di bukit Napo, Raja Balinapa yang sebetulnya ayahanda I Manyambungi telah mati karena diserang oleh Raja Lego yang sakti. Raja ini sangat berkuasa dan kejam. Ia suka menyembelih orang dan mengganggu rakyat yang berada di negeri sekitarnya. Untuk mengatasi hal ini, para raja bawahan dan sekitarnya mulai prihatin dan mengadakan pertemuan. Karena sudah banyak orang yang dibunuh dan tidak ada yang bisa menekan si Raja Lego yang sakti tapi kejam tersebut.

Salah seorang diantaranya berkata, ”Ada berita baik, di Gowa ada seorang panglima perang yang sangat sakti, barangkali kita dapat minta tolong padanya untuk melawan Raja Lego.

Kemudian diutuslah seseorang ke Gowa untuk menemui panglima I Manyambungi. Akan tetapi I Manyambungi menolak dan berkata, “Saya akan turut ke Balanipa membantu kalian jika Puang Mosso yang datang menjemputku. Janji saya ini tidak boleh didengar oleh Raja Gowa, karena beliau melarangku meninggalkan negeri ini.

Tiba di Mosso, utusan bernama Puang Napo itu berkata kepada Puang Mosso, “Pergilah ke Gowa karena beliau mau kesini kalau Puang Mosso sendiri yang menjemputnya.” Tiba-tiba Puang Mosso tersentak kaget, heran dan cemas. Mengapa harus dia yang menjemput I Manyambungi. Ada hubungan apa dan kepentingan apa Panglima Perang terkenal Gowa itu dengannya? Agar tak penasaran segera berangkatlah Puang Mosso dengan kapal layar ke Gowa. Tiba di Gowa beliau menghadap I Manyambungi dengan dada berdebar-debar. Berkatalah I Manyambungi, “Saya betul-betul akan berangkat ke Balanipa, karena saya mengingat budi baikmu kepadaku, sewaktu kecil engkaulah yang menyelamatkan dan memeliharaku.

Dada Puang Mosso berdebar. "Jangan-jangan, dialah anak Raja Balinapa yang diselamatkannya dahulu dan sekarang bernama I Manyambungi," pikirnya antara khawatir dan gembira. Puang Mosso terus mengamati I Manyambungi dan memohon, “Maafkan hamba Tuan, coba julurkanlah lidah Tuan.” Ketika lidahnya dijulurkan dan terlihat lidah itu berwarna hitam dan berbulu, Puang Mosso langsung berteriak keras sembari memeluk I Manyambungi dan berkata, “Benar, engkaulah putra Raja Balinapa.

Tidak lama kemudian, pada waktu tengah malam berangkatlah mereka meninggalkan negeri Gowa dengan diam-diam karena jika pamit kepada Raja Gowa pasti takkan direstui kepergian I Manyambungi ke kampung halamannya.

Setelah sampai, kapal layar mereka merapat di Tangnga-Tangnga. Mereka lalu menurunkan semua peralatan perang dan membawanya ke bukit Napo. Itulah sebabnya I Manyambungi juga dinamakan To Dilaling yang berarti orang yang hijrah karena ia pindah dari Gowa ke Napo yaitu salah satu daerah Mandar. Dilaling (orang yang hijrah) karena beliau pindah dari Gowa ke Napo (salah satu daerah Mandar).

Sementara itu Raja Lego memerintah kerajaan Napo dengan kejam sekali. Ia berbuat sekehendak hatinya. Kalau menginginkan harta tidak peduli milik siapa harus diperolehnya, baik dengan cara halus maupun dengan cara kekerasan. Begitu pula jika ia ingin kawin, tak peduli wanita yang diinginkan menolak atau menerima, masih gadis atau sudah bersuami pasti dipaksanya menjadi istrinya. Akibatnya kebanyakan rakyat menaruh dendam dan sangat membencinya. Maka ketika I Manyambungi mengajak rakyat berjuang melawan Raja Lego, ajakannya itu disambut dengan suka cita. Pada hari yang ditentukan mereka menyerbu istana. Khusus Raja Lego dihadapi oleh I Manyambungi sendiri. Dalam pertempuran yang sangat dahsyat, Raja Lego akhirnya dapat dikalahkan oleh I Manyambungi. Raja kejam itu tewas diujung badik I Manyambungi. Akhirnya, I Menyambungi yang menjadi penerus tahta kerajaan Balinapa yang kacau-balau pada waktu itu. Pada masa pemerintahan I Manyambungi negeri tersebut menjadi aman, makmur dan sentosa.

Janganlah seseorang itu terlalu mementingkan diri sendiri sehingga dapat merugikan orang lain, seperti yang ditunjukkan oleh Raja Balinapa. Karena takut diganti, ia rela membunuh anak laki-lakinya.

Kedua, manusia tidak sepatutnya menyombongkan kekuatan dan kesaktiannya seperti Raja Lego untuk menindas yang lemah. Karena sesungguhnya tidak ada manusia yang mau ditindas oleh orang lain.

Sumber : http://www.bali-directory.com/education/folks-tale/PanglimaLidahHitam.asp

Jumat, 07 Oktober 2011

folktalesnusantara.blogspot.com tempat mencari cerita rakyat nusantara gratis
Suri Ikun dan Dua Burung

Pada jaman dahulu, di pulau Timor hiduplah seorang petani dengan isteri dan empat belas anaknya. Tujuh orang anaknya laki-laki dan tujuh orang perempuan.

Walaupun mereka memiliki kebun yang besar, hasil kebun tersebut tidak mencukupi kebutuhan keluarga tersebut. Sebabnya adalah tanaman yang ada sering dirusak oleh seekor babi hutan.

Petani tersebut menugaskan pada anak laki-lakinya untuk bergiliran menjaga kebun mereka dari babi hutan. Kecuali Suri Ikun, keenam saudara laki-lakinya adalah penakut dan dengki. Begita mendengar dengusan babi hutan, maka mereka akan lari meninggalkan kebunnya.

Lain halnya dengan Suri Ikun, begitu mendengar babi itu datang, ia lalu mengambil busur dan memanahnya. Setelah hewan itu mati, ia membawanya kerumah. Disana sudah menunggu saudara-saudaranya.

Saudaranya yang tertua bertugas membagi- bagikan daging babi hutan tersebut. Karena dengkinya, ia hanya memberi Suri Ikun kepala dari hewan itu. Sudah tentu tidak banyak daging yang bisa diperoleh dari bagian kepala.

Selanjutnya, ia meminta Suri Ikun bersamannya mencari gerinda milik ayahnya yang tertinggal di tengah hutan. Waktu itu hari sudah mulai malam.

Hutan tersebut menurut cerita di malam hari dihuni oleh para hantu jahat. Dengan perasaan takut iapun berjalan mengikuti kakaknya. Ia tidak tahu bahwa kakaknya mengambil jalan lain yang menuju kerumah.

Tinggallah Suri Ikun yang makin lama makin masuk ke tengah hutan. Berulang kali ia memanggil nama kakaknya. Panggilan itu dijawab oleh hantu-hantu hutan. Mereka sengaja menyesatkan Suri Ikun.

Setelah berada ditengah- tengah hutan lalu, hantu-hantu tersebut menangkapnya. Ia tidak langsung dimakan, karena menurut hantu-hantu itu ia masih terlalu kurus.

Ia kemudian dikurung ditengah gua. Ia diberi makan dengan teratur. Gua itu gelap sekali. Namun untunglah ada celah disampingnya, sehingga Suri Ikun masih ada sinar yang masuk ke dalam gua.

Dari celah tersebut Suri Ikun melihat ada dua ekor anak burung yang kelaparan. Iapun membagi makanannya dengan mereka. Setelah sekian tahun, burung- burung itupun tumbuh menjadi burung yang sangat besar dan kuat. Mereka ingin mem- bebaskan Suri Ikun.

Pada suatu ketika, hantu-hantu itu membuka pintu gua, dua burung tersebut menyerang dan mencederai hantu hantu tersebut. Lalu mereka menerbangkan Suri Ikun ke daerah yang berbukit-bukit tinggi.

Dengan kekuatan gaibnya, Burung-burung tersebut menciptakan istana lengkap dengan pengawal dan pelayan istana. Disanalah untuk selanjutnya Suri Ikun berbahagia.

(Diadaptasi bebas dari Ny. S.D.B. Aman,"Suri Ikun and The Two Birds," Folk Tales From Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1976).



Labels: Cerita Rakyat, Folk Tales, Nusa Tenggara Timur
Cendrawasih

Di daerah Fak-fak tepatnya, pegunungan Bumberi hiduplah seorang perempuan tua bersama seekor anjing betina. Perempuan tua bersama anjing itu mendapatkan makanan dari hutan berupa buah-buahan dan kuskus. Hutan adalah ibu mereka yang menyediakan makanan untuk hidup. Mereka berdua hidup bebas dan bahagia di alam.

Suatu ketika, seperti biasanya mereka berdua ke hutan untuk mencari makan. Perjalanan yang cukup memakan waktu belum juga mendapatkan makanan. Anjing itu merasa lelah karena kehabisan tenaga. Pada keadaan yang demikian tibalah mereka berdua pada suatu tempat yang ditumbuhi pohon pandan yang penuh dengan buah. Perempuan tua itu serta merta memungut buah itu dan menyuguhkannya kepada anjing betina yang sedang kelaparan. Dengan senang hati, anjing betina itu melahap suguhan segar itu. Anjing betina itu merasa segar dan kenyang.

Namun, anjing itu mulai merasakan hal-hal aneh di perutnya. Perut anjing itu mulai membesar. Perempuan tua itu memastikan bahwa, ternyata sahabatnya (anjing betina) itu bunting.Tidak lama kemudian lahirlah seekor anak anjing. Melihat keanehan itu, si perempuan tua itu segera memungut buah pandan untuk dimakannya, lalu mengalami hal yang sama dengan yang dialami oleh sahabatnya. Perempuan tua itu melahirkan seorang anak laki-laki. Keduanya lalu memelihara mereka masing-masing dengan penuh kasih sayang. Anak laki-laki diberi nama: Kweiya.

Setelah Kweiya menjadi besar dan dewasa, dia mulai membuka hutan dan membuat kebun untuk menanam makanan dan sayuran. Alat yang dipakai untuk menebang pohon hanyalah sebuah pahat (bentuk kapak batu). Karenannya, Kweiya hanya dapat menebang satu pohon setiap harinya. Ibunya ikut membantu dengan membakar daun-daun dari pohon yang telah rebah untuk membersihkan tempat itu sehingga asap tebal mengepul ke langit. Setiap kali, hutan lebat itu dihiasi dengan kepulan asap tebal yang membumbung tinggi. Keduanya tidak menyadari bahwa mereka telah menarik perhatian orang dengan mengadakan kepulan asap itu.
Konon ada seorang pria tua yang sedang mengail di tengah laut terpaku melihat suatu tiang asap yang mengepul tinggi ke langit seolah-olah menghubungi hutan belantara dengan langit. Dia tertegun memikirkan bagaimana dan siapakah gerangan pembuat asap misterius itu. Karena perasaan ingin tahu mendorongnya untuk pergi mencari tempat di mana asap itu terjadi. Lalu ia pun segera menyiapkan diri dengan bekal secukupnya dan dengan bersenjatakan sebuah kapak besi, ia pun segera berangkat. Pria itu berangkat bersama seekor kuskus yang dipeliharanya sejak lama. Perjalanannya ternyata cukup memakan waktu. Setelah seminggu berjalan kaki, akhirnya ia mencapai tempat di mana asap itu terjadi.

Setibannya di tempat itu, ternyata yang ditemui adalah seorang pria tampan membanting tulang menebang pohon di bawah terik panas matahari dengan menggunakan sebuah kapak batu berbentuk pahat. Melihat itu, ia menghampiri lalu memberi salam: “weing weinggiha pohi” (artinya selamat siang) sambil memberikan kapak besi kepada Kweiya untuk menebang pohon-pohon di hutan rimba itu. Sejak itu pohon-pohonpun berjatuhan bertubi-tubi. Ibu Kweiya yang beristerahat di pondoknya menjadi heran. Ia menanyakan hal itu kepada Kweiya, dengan alat apa ia menebang pohon itu sehingga dapat rebah dengan begitu cepat.

Kweiya nampaknya ingin merahasiakan tamu baru yang datang itu. Kemudian ia menjawab bahwa kebetulan pada hari itu satu tangannya terlalu ringan untuk dapat menebang begitu banyak pohon dalam waktu yang sangat singkat. Ibunya yang belum sempat melihat pria itu percaya bahwa apa yang diceritakan oleh anaknya Kweiya memang benar. Dan karena Kweiya minta disiapkan makanan, ibunya segera menyiapkan makanan sebanyak mungkin. Setelah makanan siap dipanggilnya Kweiya untuk pulang makan. Kweiya bermaksud mengajak pria tadi untuk ikut makan ke rumah mereka dengan maksud memperkenalkannya kepada ibunya sehingga dapat diterima sebagai teman hidupnya.

Dalam perjalanan menuju rumah Kweiya memotong sejumlah tebu yang lengkap dengan daunnya untuk membungkus pria tua itu. Lalu setibanya di dekat rumah, Kweiya meletakkan, “bungkusan tebu” itu di luar rumah. Sewaktu ada dalam rumah Kweiya berbuat seolah-olah haus dan memohon kepada ibunya untuk mengambilkan sebatang tebu untuk di makannya sebagai penawar dahaga. Ibunya memenuhi permintaan anaknya lalu keluar hendak mengambil sebatang tebu. Tetapi ketika ibunya membuka bungkusaan tebu tadi, terkejutlah ia karena melihat seorang pria yang berada di dalam bungkusan itu. Serta-merta ibunya menjerik ketakutan, tetapi Kweiya berusaha menenangkannya sambil menjelaskan bahwa dialah yang mengakali ibunya dengan cara itu. Harapan agar ibunya mau menerima pria tersebut sebagai teman hidupnya, karena pria itu telah berbuat baik terhadap mereka. Ia telah memberikan sebuah kapak yang sangat berguna dalam hidup mereka nanti. Sang ibu serta merta menerima baik pikiran anaknya itu dan sejak itu mereka bertiga tinggal bersama-sama.

Setelah beberapa waktu lahirlah beberapa anak di tengah-tengah keluarga kecil tadi, dan kedua orang tua itu menganggap Kweiya sebagai anak sulung mereka. Sedang anak-anak yang lahir kemudian dianggap sebagai adik-adik kandung dari Kweiya. Namun dalam perkembangan selanjutnya dari hari ke hari hubungan persaudaraan antara mereka semakin memburuk karena adik-adik tiri dari Kweiya merasa iri terhadap Kweiya.

Pada suatu hari, sewaktu orang tua mereka sedang mencari ikan, kedua adiknya bersepakat mengeroyok Kweiya serta mengiris tubuhnya sehingga luka-luka. Karena merasa kesal atas tindakan kedua adiknya itu, Kweiya menyembunyikan diri di salah satu sudut rumah sambil meminta tali dari kulit pohon “Pogak nggein” (genemo) sebanyak mungkin. Sewaktu kedua orang tua mereka pulang ditanyakan di mana Kweiya tetapi kedua adik tirinya tidak berani menceritakan di mana Kweiya berada. Lalu adik bungsu mereka, yaitu seorang anak perempuan yang sempat menyaksikan peristiwa perkelahian itu menceritakannya kepada kedua orang tua mereka. Mendengar cerita itu si ibu tua merasa ibah terhadap anak kandungnya. Ia berusaha memanggil-manggil Kweiya agar datang. Tetapi yang datang bukannya Kweiya melainkan suara yang berbunyi: “Eek..ek, ek, ek, ek!” sambil menyahut, Kweiya menyisipkan benang pintalannya pada kakinya lalu meloncat-loncak di atas bubungan rumah dan seterusnya berpindah ke atas salah satu dahan pohon di dekat rumah mereka.

Ibunya yang melihat keadaan itu lalu menangis tersedu-sedu sambil bertanya-tanya apakah ada bagian untuknya. Kweiya yang telah berubah diri menjadi burung ajaib itu menyahut bahwa, bagian untuk ibunya ada dan disisipkan pada koba-koba (payung tikar) yang terletak di sudut rumah. Ibu tua itu lalu segera mencari koba-koba kemudian benang pintalan itu disisipkan pada ketiaknya lalu menyusul anaknya Kweiya ke atas dahan sebuah pohon yang tinggi di hutan rumah mereka. Keduanya bertengkar di atas pohon sambil berkicau dengan suara: wong, wong, wong, wong, ko,ko, ko, wo-wik!!

Dan sejak saat itulah burung cenderawasih muncul di permukaan bumi di mana terdapat perbedaan antara burung cenderawsih jantang dan betina. Burung cenderawasih yang buluhnya panjang di sebut siangga sedangkan burung cenderawasih betina disebut: hanggam tombor yang berarti perempuan atau betina. Keduanya dalam bahasa Iha di daerah Onin, Fak-fak.

Adik-adik Kweiya yang menyaksikan peristiwa ajaib itu meresa menyesal lalu saling menuduh siapa yang salah sehingga ditinggalkan ibu dan kakak mereka. Akhirnya mereka saling melempari satu sama lain dengan abu tungku perapian sehingga wajah mereka ada yang menjadi kelabu hitam, ada yang abu-abu dan ada juga yang merah-merah, lalu mereka pun berubah menjadi burung-burung. Mereka terbang meninggalkan rumah mereka menuju ke hutan rimba dengan warnanya masing-masing. Sejak itu hutan dipenuhi oleh aneka burung yang umumnya kurang menarik di bandingkan cenderawasih.

Ayah mereka memanggil Kweiya dan istrinya dan menyuruh mengganti warna buluh, namun mereka tidak mau. Ayah mereka khawatir buluh yang indah itu justru mendatangkan mala petaka bagi mereka. Dia berpikir suatu ketika orang akan memburuh mereka termasuk ketiga anaknya yang lain. Ayah merasa kecewa kerena mereka tidak mengindahkan permintaan mereka untuk berubah buluh. Kini Ayahnya kesepian dan sedih, ia melipat kedua kaki lalu, menjemburkan dirinya ke dalam laut dan menjadi penguasa laut “Katdundur”.
---------------------------------------------
Sumber: Penyesuaian dari Depdiknas--Cerita Rakyat Papua, (1883;23-26)



Labels: Cerita Rakyat, Folk Tales, Papua
Kera dan Ayam

Pada jaman dahulu, tersebutlah seekor ayam yang bersahabat dengan seekor kera. Namun persahabatan itu tidak berlangsung lama, karena kelakuan si kera. Pada suatu petang Si Kera mengajak si ayam untuk berjalan-jalan. Ketika hari sudah petang si Kera mulai merasa lapar. Kemudian ia menangkap si Ayam dan mulai mencabuti bulunya. Si Ayam meronta-ronta dengan sekuat tenaga. Akhirnya, ia dapat meloloskan diri.

Ia lari sekuat tenaga. Untunglah tidak jauh dari tempat itu adalah tempat kediaman si Kepiting. Si Kepiting adalah teman sejati darinya. Dengan tergopoh-gopoh ia masuk ke dalam lubang kediaman si Kepiting. Disana ia disambut dengan gembira. Lalu Si Kepiting menceritakan semua kejadian yang dialaminya, termasuk penghianatan si Kera.

Mendengar hal itu akhirnya si Kepiting tidak bisa menerima perlakuan si Kera. Ia berkata, "marilah kita beri pelajaran kera yang tahu arti persahabatan itu." Lalu ia menyusun siasat untuk memperdayai si Kera. Mereka akhirnya bersepakat akan mengundang si Kera untuk pergi berlayar ke pulau seberang yang penuh dengan buah-buahan. Tetapi perahu yang akan mereka pakai adalah perahu buatan sendiri dari tanah liat.

Kemudian si Ayam mengundang si Kera untuk berlayar ke pulau seberang. Dengan rakusnya si Kera segera menyetujui ajakan itu. Beberapa hari berselang, mulailah perjalanan mereka. Ketika perahu sampai ditengah laut, mereka lalu berpantun. Si Ayam berkokok "Aku lubangi ho!!!" Si Kepiting menjawab "Tunggu sampai dalam sekali!!"

Setiap kali berkata begitu maka si ayam mencotok-cotok perahu itu. Akhirnya perahu mereka itu pun bocor dan tenggelam. Si Kepiting dengan tangkasnya menyelam ke dasar laut. Si Ayam dengan mudahnya terbang ke darat. Tinggallah Si Kera yang meronta-ronta minta tolong. Karena tidak bisa berenang akhirnya ia pun mati tenggelam.

(Disarikan dari Abdurrauf Tarimana, dkk, "Landoke-ndoke te Manu: Kera dan Ayam," Cerita Rakyat Daerah Sulawesi Tenggara, Jakarta: Dept. P dan K, 1978, hal. 61-62)




Labels: Cerita Rakyat, Fabel, Folk Tales, Sulawesi Tenggara
Putri Naga

Diceritakan kembali oleh :
Sunarno
Legenda dari Tapak Tuan, Aceh Selatan

Diposting oleh: wisnu purba A - X che-38 Konon menurut legenda, dulu hiduplah sepasang naga jantan dan naga betina di daerah Teluk (sekarang Tapaktuan) yang datang dari negeri Cina. Mereka diusir oleh raja karena tidak mempunyai anak. Karena siang dan malam kedua hewan itu berdoa, maka akhirnya impian untuk memiliki si buah hati tercapai juga. Mereka menemukan seorang bayi perempuan yang hanyut terapung-apung di tengah lautan. Bayi perempuan itu diberi nama Putri Bungsu, mereka asuh dan pelihara dengan penuh kasih sayang.

Dari hari ke hari bayi itu terus menanjak remaja dan menjadi seorang putri yang cantik jelita. Pada suatu ketika muncul kedua orang tua Putri Bungsu dari Kerajaan Asralanoka (sebuah kerajaan di pesisir India Selatan) untuk mencari sang bayinya yang hanyut 17 tahun yang lalu. Saat meminta kembali putrinya, terjadi pertengkaran dengan sang naga.

Ketika terjadi pertengkaran itulah muncul seorang seorang manusia yang bernama Tuan Tapa dari tempat persemediannya di daerah Goa Kalam. Tuan Tapa meminta kesediaan sang naga untuk mengembalikan Putri Bungsu kepada orang tuanya. Tapi naga menolak dan mereka malah menantang Tuan Tapa untuk berduel. Lantas terjadilah pertarungan sengit antara naga dan Tuan Tapa, yang akhirnya pertarungan itu dimenangkan oleh Tuan Tapa. Putri Bungsu berhasil diselamatkan dan diserahkan kepada orang tuanya.

Sementara salah seekor naga jantan mati terbunuh oleh libasan tongkat Tuan Tapa, sedangkan naga betina sempat melarikan diri ke cina sambil memporakporandakan apa saja yang dilaluinya. Naga betina membelah dua sebuah pulau di daerah Bakongan (sekarang dikenal dengan PULAU DUA), memporakporandakan sebuah pulau besar lainnya sehingga menjadi 99 buah pulau kecil (sekarang dikenal dengan PULAU BANYAK di Aceh Singkil).

Boleh percaya boleh tidak, sedangkan bekas naga jantan yang mati dilibas oleh Tuan Tapa kini masih dapat disaksikan, hati dan tubuh naga yang hancur berkeping menjadi batu (dikenal dengan BATU ITAM), darahnya membeku menjadi batu (dikenal dengan BATU MERAH). Sedangkan telapak kaki, tongkat, peci dan makam Tuan Tapa masih dapat disaksikan di sekitar Kota Tapaktuan.

(disadur dari Buku Legenda Putri Naga ditulis oleh Darul Cutni CH)

amanat : jangan lah kamu meminta sesuatu yang sudah bukan menjadi milikmu lagi.

nilai : moral





Labels: Aceh, Cerita Rakyat, Folk Tales, Legenda
Naga Baru Klinting

Alkisah, hiduplah seorang bocah yang karena kesaktiannya di kutuk seorang penyihir jahat. Akibatnya, bocah itu memiliki luka di sekujur tubuh dengan bau yang sangat tajam. Luka itu tak pernah mau kering. Jika mulai kering, selalu saja muncul luka-luka baru, disebabkan memar.
Akhirnya, tak ada seorang pun yang mau bersahabat dengannya. Jangankan berdekatan, bertegur sapa pun mereka enggan. Setiap berpapasan mereka pasti melengos. Tak ingin bersinggungan, karena takut tertular.
Bocah ini pun mulai berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk menemukan seseorang yang mampu menyembuhkan penyakitnya. Hingga kemudian dalam mimpinya, ia bertemu seorang wanita tua yang baik hati. Kelak dialah yang sanggup melepaskan mantera jahat tersebut sehingga ia bisa pulih seperti semula.
Akhirnya, tak dinyana tak di duga, dia pun tiba di sebuah kampung yang kebanyakan orang-orangnya sangat sombong. Tak banyak orang miskin di tempat itu. Kalaupun ada, pasti akan di usir atau dibuat tidak nyaman dengan berbagai cara.
Kemunafikan orang-orang kampung ini mengusik nurani bocah kecil tadi, yang belakangan diketahui bernama Baru Klinting. Dalam sebuah pesta yang meriah, bocah tersebut berhasil menyellinap masuk. Namun apa ayal, ia pun harus rela di usir paksa karena ketahuan.
Saat tengah di seret, ia berpesan agar sudi kiranya mereka memperhatikan orang-orang tak mampu, karena mereka juga manusia. Sama seperti mereka. Di perlakukan begitu ia tak begitu ambil pusing. Namun amarah mulai memuncak, saat puluhan orang mulai mencibir sembari meludahi dirinya. “dasar anak setan, anak buruk rupa”, begitu maki mereka.
Tak terima dengan perlakuan itu, ia pun langsung menancapkan sebatang lidi yang kebetulan ada di sana. Lalu dengan wajah berang ia pun bersumpah, bahwa tak ada seorang pun yang sanggup mengangkat lidi ini, kecuali dirinya.
Tak percaya dengan omongan sang bocah, masing-masing orang mulai mencoba mencabut lidi tersebut. Namun, lagi-lagi, lidi itu tak bergeming dari tempatnya. Hingga akhirnya orang-orang mulai takut dengan omongan si bocah. “Jangan-jangan akan ada apa-apa?” pikir mereka.
Benar saja, dalam beberapa hari, tak ada seorang pun yang sanggup melepas lidi tersebut. Hingga akhirnya, secara diam-diam ia kembali lagi ke tempat itu dan mencabutnya. Seorang warga yang kebetuan lewat melihat aksinya, langsung terperangah. Ia pun menceritakan kisah itu kepada orang-orang yang lain. Tak lama kemudian, tetesan air pun keluar dari lubang tadi. Makin lama makin banyak, hingga akhirnya menenggelamkan kampung tersebut dan membuatnya menjadi telaga.
Konon tak banyak orang yang selamat, selain warga yang melihat kejadian dan seorang janda tua yang berbaik hati memberinya tumpangan. Janda ini pula yang merawatnya, hingga secara ajaib, penyakit tersebut berangsur-angsur hilang.
Namun penyihir jahat, tetap tak terima, hingga di suatu ketika, Baru Klinting kembali di kutuk. Namun aneh, kali ini kutukan bukan berupa penyakit, tapi malah merubah tubuhnya menjadi ular yang sangat besar dengan kalung yang berdentang pada lehernya.
Versi lain menyebutkan, ular ini sering keluar dari sarangnya tepat pukul 00.00 WIB. Setiap ia bergerak, dentingan kalung di lehernya selalu berbunyi; klentang klenting. Akhirnya, bunyi ini pula yang membuatnya di kenal sebagai Baru Klinting.
Konon, nelayan yang sedang kesusahan karena tidak mendapat ikan, pasti akan beruntung jika Baru Klinting lewat tak jauh dari tempatnya. Itu yang membuat legenda kehadirannya telah menjadi semacam berkat yang paling di tunggu-tunggu.

Amanat : Manusia di cptakan bukan untuk saling menyakiti.

Nilai” : moral, karena cerita tsb mengandung sifat” manusia.



Labels: Cerita Rakyat, Folk Tales, Jawa Timur, Legenda
Cindelaras

Raden Putra adalah raja Kerajaan Jenggala. Ia didampingi seorang permaisuri yang baik hati dan seorang selir yang cantik jelita. Tetapi, selir Raja Raden Putra memiliki sifat iri dan dengki terhadap sang permaisuri. Ia merencanakan suatu yang buruk kepada permaisuri. “Seharusnya, akulah yang menjadi permaisuri. Aku harus mencari akal untuk menyingkirkan permaisuri,” pikirnya.

Selir baginda, berkomplot dengan seorang tabib istana. Ia berpura-pura sakit parah. Tabib istana segera dipanggil. Sang tabib mengatakan bahwa ada seseorang yang telah menaruh racun dalam minuman tuan putri. “Orang itu tak lain adalah permaisuri Baginda sendiri,” kata sang tabib. Baginda menjadi murka mendengar penjelasan tabib istana. Ia segera memerintahkan patihnya untuk membuang permaisuri ke hutan.

Sang patih segera membawa permaisuri yang sedang mengandung itu ke hutan belantara. Tapi, patih yang bijak itu tidak mau membunuhnya. Rupanya sang patih sudah mengetahui niat jahat selir baginda. “Tuan putri tidak perlu khawatir, hamba akan melaporkan kepada Baginda bahwa tuan putri sudah hamba bunuh,” kata patih. Untuk mengelabui raja, sang patih melumuri pedangnya dengan darah kelinci yang ditangkapnya. Raja menganggung puas ketika sang patih melapor kalau ia sudah membunuh permaisuri.

Setelah beberapa bulan berada di hutan, lahirlah anak sang permaisuri. Bayi itu diberinya nama Cindelaras. Cindelaras tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan tampan. Sejak kecil ia sudah berteman dengan binatang penghuni hutan. Suatu hari, ketika sedang asyik bermain, seekor rajawali menjatuhkan sebutir telur. “Hmm, rajawali itu baik sekali. Ia sengaja memberikan telur itu kepadaku.” Setelah 3 minggu, telur itu menetas. Cindelaras memelihara anak ayamnya dengan rajin. Anak ayam itu tumbuh menjadi seekor ayam jantan yang bagus dan kuat. Tapi ada satu keanehan. Bunyi kokok ayam jantan itu sungguh menakjubkan! “Kukuruyuk… Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra…”

Cindelaras sangat takjub mendengar kokok ayamnya dan segera memperlihatkan pada ibunya. Lalu, ibu Cindelaras menceritakan asal usul mengapa mereka sampai berada di hutan. Mendengar cerita ibundanya, Cindelaras bertekad untuk ke istana dan membeberkan kejahatan selir baginda. Setelah di ijinkan ibundanya, Cindelaras pergi ke istana ditemani oleh ayam jantannya. Ketika dalam perjalanan ada beberapa orang yang sedang menyabung ayam. Cindelaras kemudian dipanggil oleh para penyabung ayam. “Ayo, kalau berani, adulah ayam jantanmu dengan ayamku,” tantangnya. “Baiklah,” jawab Cindelaras. Ketika diadu, ternyata ayam jantan Cindelaras bertarung dengan perkasa dan dalam waktu singkat, ia dapat mengalahkan lawannya. Setelah beberapa kali diadu, ayam Cindelaras tidak terkalahkan. Ayamnya benar-benar tangguh.

Berita tentang kehebatan ayam Cindelaras tersebar dengan cepat. Raden Putra pun mendengar berita itu. Kemudian, Raden Putra menyuruh hulubalangnya untuk mengundang Cindelaras. “Hamba menghadap paduka,” kata Cindelaras dengan santun. “Anak ini tampan dan cerdas, sepertinya ia bukan keturunan rakyat jelata,” pikir baginda. Ayam Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu syarat, jika ayam Cindelaras kalah maka ia bersedia kepalanya dipancung, tetapi jika ayamnya menang maka setengah kekayaan Raden Putra menjadi milik Cindelaras.

Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi dalam waktu singkat, ayam Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya. “Baiklah aku mengaku kalah. Aku akan menepati janjiku. Tapi, siapakah kau sebenarnya, anak muda?” Tanya Baginda Raden Putra. Cindelaras segera membungkuk seperti membisikkan sesuatu pada ayamnya. Tidak berapa lama ayamnya segera berbunyi. “Kukuruyuk… Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden Putra…,” ayam jantan itu berkokok berulang-ulang. Raden Putra terperanjat mendengar kokok ayam Cindelaras. “Benarkah itu?” Tanya baginda keheranan. “Benar Baginda, nama hamba Cindelaras, ibu hamba adalah permaisuri Baginda.”

Bersamaan dengan itu, sang patih segera menghadap dan menceritakan semua peristiwa yang sebenarnya telah terjadi pada permaisuri. “Aku telah melakukan kesalahan,” kata Baginda Raden Putra. “Aku akan memberikan hukuman yang setimpal pada selirku,” lanjut Baginda dengan murka. Kemudian, selir Raden Putra pun di buang ke hutan. Raden Putra segera memeluk anaknya dan meminta maaf atas kesalahannya Setelah itu, Raden Putra dan hulubalang segera menjemput permaisuri ke hutan.. Akhirnya Raden Putra, permaisuri dan Cindelaras dapat berkumpul kembali. Setelah Raden Putra meninggal dunia, Cindelaras menggantikan kedudukan ayahnya. Ia memerintah negerinya dengan adil dan bijaksana.

Sumber: www.e-smartschool.com



Labels: Cerita Rakyat, Folk Tales
Pisau Ajaib

DAHULU, di tanah Berau, Kalimantan Timur, ada seorang raja bernama Aji Diangkat dan permaisurinya bernama Aji Tangga Benua. Raja Aji Diangkat memerintah kerajaan dengan adil dan bijaksana. Beliau dicintai dan ditaati seluruh rakyat, karena budi pekertinya yang baik dan terpuji.

Raja memiliki tujuh putri yang cantik, tetapi beliau belum memunyai putra yang akan menggantikannya kelak. Dari ketujuh putri itu yang tercantik adalah Putri Bungsu. Selain cantik, budi pekertinya juga baik. Keenam kakaknya memunyai sifat yang berbeda. Mereka memunyai kebiasaan yang buruk, tinggi hati, dan congkak. Perkataan mereka kasar sehingga menyakitkan orang yang mendengar.

Tidak mengherankan jika Putri Bungsu menjadi kesayangan ayah dan bundanya, bahkan menjadi pujaan seluruh rakyat di kerajaan itu. Sebagai putri seorang raja, jelas Putri Bungsu memunyai dayang serta inang pengasuh, walaupun demikian ia tetap senang bekerja, terutama memasak di dapur.

Pada suatu hari, kepala pisau kesayangan Putri Bungsu pecah. Ia sangat sedih dan memohon ayahanda agar dibuatkan kepala pisau yang baru.

Raja langsung memerintahkan semua ahli pahat dan ahli ukir untuk membuat kepala lading, tetapi belum satu pun berkenan di hati Putri Bungsu.

Di ujung kampung kerajaan Raja Aji Diangkat tinggallah seorang pemuda miskin bernama Si Maniki. Pekerjaannya adalah menjual kayu bakar, mengambil upah menumbuk padi atau menyiangi kebun. Si Maniki hidup sebatang kara. Ia dikenal penduduk sebagai pemuda yang jujur dan rendah hati.

Pada suatu hari, Si Maniki berjalan melewati istana. Ketika raja melihatnya, beliau memerintahkan pegawal agar menyuruh Si Maniki singgah.

Setelah Si Maniki berhadapan dengan raja, bertanyalah raja, "Hai anak muda, siapakah namamu dan hendak ke manakah engkau?"

"Hamba bernama Si Maniki. Hamba hendak pergi ke ujung kampung untuk mengambil upah menumbuk padi," sahut Si Maniki dengan penuh hormat.

Kemudian raja memerintahkan Si Maniki membuat kepala pisau untuk Putri Bungsu. Si Maniki menyanggupi perintah raja. Ia membuat kepala pisau dengan sungguh-sungguh. Setelah selesai, kepala pisau itu diperlihatkan kepada Putri Bungsu. Ketika Putri Bungsu melihat benda itu, alangkah gembira hatinya. Ia mau menerima kepala pisau itu. Sungguh mengherankan, mengapa justru pisau sederhana seperti itu berkenan di hati Putri Bungsu.

Si Maniki pun mendapat hadiah besar dari raja. Ia menerima hadiah itu dengan suka cita.

Kepala pisau itu sangat disayang putri bungsu. Ia selalu membawa benda itu ke mana saja. Sampai-sampai pada waktu tidur sekalipun benda itu dibawanya. Demikianlah, waktu berjalan terus. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Setelah beberapa bulan, terjadi suatu keajiban pada Putri Bungsu.

Putri Bungsu hamil tanpa nikah. Raja tentu sangat malu. Beliau percaya tidak percaya putri kesayangannya telah melakukan perbuatan zina.

Raja dan permaisuri bertanya kepada putri bungsu, siapakah yang telah berani menghamili putrinya. Putri Bungsu tidak dapat memberikan jawaban dan keterangan lain, karena ia memang tidak pernah melakukan hubungan dengan laki-laki. Ia didesak terus, tetapi ia hanya bisa menangis.

Keenam saudaranya yang sejak dulu telah membencinya mengatakan Putri Bungsu telah membuat cemar nama raja. Mereka juga menyesali orang tua mereka yang selama ini sangat memanjakan Putri Bungsu. Putri Bungsu hanya bisa berdoa dan memohon agar mendapat pertolongan Tuhan.

Akhirnya, Putri Bungsu melahirkan seorang putra yang sehat dan tampan. Bayi itu dipeliharannya dengan penuh kasih sayang.

Raja Aji Diangkat menerima kenyataan ini dengan tabah dan segera mencari penyelesaian. Atas nasihat dukun kepercayaan beliau, semua laki-laki yang ada di negeri itu dikumpulkan. Setelah mereka berkumpul, masing-masing diberi sebiji pisang masak.

Menurut dukun, jika di antara mereka yang memegang pisang itu terdapat ayah bayi tersebut, bayi itu akan merangkak mendatanginya. Ternyata, tidak seorang pun di antara para hadirin didatangi bayi itu.

Raja memerintahkan para pegawal untuk menyelidiki lagi jika masih ada laki-laki yang belum diundang ke istana. Setelah diteliti, ternyata semua laki-laki telah dipanggil, kecuali seorang pemuda miskin di ujung kampung, yaitu Si Maniki. Raja memerintahkan para pengawal untuk membawa Maniki menghadap.

Si Maniki pun menghadap. Ia diberi sebiji pisang masak. Begitu pisang dipegang, si bayi merangkak mendatangi Si Maniki dan naik ke atas pangkuannya. Para hadirin tercengang dan tidak percaya bahwa pemuda miskin itulah ayah si bayi. Tidak ada pilihan lain bagi raja, kecuali menyerahkan Putri Bungsu dan bayinya kepada Si Maniki. Putri Bungsu dan Si Maniki menerima titah raja. Mereka pun meninggalkan istana.

Si Maniki tetap giat bekerja dengan jujur dan selalu menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dari persahabatannya dengan angin puyuh, kera, dan burung bangau, Si Maniki mendapat emas dan perak. Ia mempersembahkan emas dan perak itu kepada raja serta membuat istana dari emas dan perak. Karena suka cita, raja menikahkan Si Maniki dan Putri Bungsu.

Si Maniki juga diangkat menjadi raja, karena Raja Aji Diangkat sudah tua. Raja Si Maniki memerintah dengan adil dan bijaksana sehingga seluruh rakyat taat dan menyayanginya.


Sumber:
Lampung Post



Labels: Cerita Rakyat, Folk Tales, Kalimantan Timur
Keong Mas

Diceritakan kembali oleh cicykasih

Raja Kertamarta adalah raja dari Kerajaan Daha. Raja mempunyai 2 orang putri, namanya Dewi Galuh dan Candra Kirana yang cantik dan baik. Candra kirana sudah ditunangkan oleh putra mahkota Kerajaan Kahuripan yaitu Raden Inu Kertapati yang baik dan bijaksana.

Tapi saudara kandung Candra Kirana yaitu Galuh Ajeng sangat iri pada Candra kirana, karena Galuh Ajeng menaruh hati pada Raden Inu kemudian Galuh Ajeng menemui nenek sihir untuk mengutuk candra kirana. Dia juga memfitnahnya sehingga candra kirana diusir dari Istana ketika candra kirana berjalan menyusuri pantai, nenek sihirpun muncul dan menyihirnya menjadi keong emas dan membuangnya kelaut. Tapi sihirnya akan hilang bila keong emas berjumpa dengan tunangannya.

Suatu hari seorang nenek sedang mencari ikan dengan jala, dan keong emas terangkut. Keong Emas dibawanya pulang dan ditaruh di tempayan. Besoknya nenek itu mencari ikan lagi dilaut tetapi tak seekorpun didapat. Tapi ketika ia sampai digubuknya ia kaget karena sudah tersedia masakan yang enak-enak. Sinenek bertanya-tanya siapa yang memgirim masakan ini.

Begitu pula hari-hari berikutnya sinenek menjalani kejadian serupa, keesokan paginya nenek pura-pura kelaut ia mengintip apa yang terjadi, ternyata keong emas berubah menjadi gadis cantik langsung memasak, kemudian nenek menegurnya ” siapa gerangan kamu putri yang cantik ? ” Aku adalah putri kerajaan Daha yang disihir menjadi keong emas oleh saudaraku karena ia iri kepadaku ” kata keong emas, kemudian candra kirana berubah kembali menjadi keong emas. Nenek itu tertegun melihatnya.

Sementara pangeran Inu Kertapati tak mau diam saja ketika tahu candra kirana menghilang. Iapun mencarinya dengan cara menyamar menjadi rakyat biasa. Nenek sihirpun akhirnya tahu dan mengubah dirinya menjadi gagak untuk mencelakakan Raden Inu Kertapati. Raden Inu Kertapati Kaget sekali melihat burung gagak yang bisa berbicara dan mengetahui tujuannya. Ia menganggap burung gagak itu sakti dan menurutinya padahal raden Inu diberikan arah yang salah. Diperjalanan Raden Inu bertemu dengan seorang kakek yang sedang kelaparan, diberinya kakek itu makan. Ternyata kakek adalah orang sakti yang baik Ia menolong Raden Inu dari burung gagak itu.



Kakek itu memukul burung gagak dengan tongkatnya, dan burung itu menjadi asap. Akhirnya Raden Inu diberitahu dimana Candra Kirana berada, disuruhnya raden itu pergi kedesa dadapan. Setelah berjalan berhari-hari sampailah ia kedesa Dadapan Ia menghampiri sebuah gubuk yang dilihatnya untuk meminta seteguk air karena perbekalannya sudah habis. Tapi ternyata ia sangat terkejut, karena dari balik jendela ia melihatnya tunangannya sedang memasak. Akhirnya sihirnya pun hilang karena perjumpaan dengan Raden Inu. Tetapi pada saat itu muncul nenek pemilik gubuk itu dan putri Candra Kirana memperkenalkan Raden Inu pada nenek. Akhirnya Raden Inu memboyong tunangannya keistana, dan Candra Kirana menceritakan perbuatan Galuh Ajeng pada Baginda Kertamarta.

Baginda minta maaf kepada Candra Kirana dan sebaliknya. Galuh Ajeng mendapat hukuman yang setimpal. Karena takut Galuh Ajeng melarikan diri kehutan, kemudian ia terperosok dan jatuh kedalam jurang. Akhirnya pernikahan Candra kirana dan Raden Inu Kertapatipun berlangsung. Mereka memboyong nenek dadapan yang baik hati itu keistana dan mereka hidup bahagia.

Sumber :

http://cicykasih.wordpress.com/2008/07/17/keong-mas/



Labels: Cerita Rakyat, Folk Tales, Jakarta
Asal Usul Lintah

Alkisah, hiduplah sebuah keluarga dengan seorang anak lelakinya bernama I Karma. Setiap fajar menyingsing, Pan Karma (ayah I Karma) dan I Karma selalu pergi ke ladang mereka yang letaknya di tepi sebuah hutan. Sesampai di ladang, keduanya berpisah. Pan Karma langsung mengambil cangkul dan mulai mencangkul ladangnya, sedangkan I Karma meneruskan perjalanannya ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar. Setelah siang, I Karma akan kembali ke ladang untuk makan siang yang dibawa oleh Men Karma (ibu I Karma). Apabila hari telah sore, mereka pun pulang. Begitulah kegiatan keluarga itu setiap harinya.

Setelah tanaman ladang yang berupa padi ladang berumur empat bulan, maka tibalah waktu untuk mengetam. Men Karma yang selalu menghitung hari sejak padi mulai ditanam hingga telah berumur empat bulan pun bertanya kepada suaminya, “Pak, kapankah kita akan mulai mengetam?”

“Dua hari lagi,” jawab Pan Karma.

Dua hari kemudian, sebelum fajar menyingsing, Men Karma telah sibuk di dapur mempersiapkan bekal untuk bekerja di ladang. Setelah semuanya siap, berangkatlah mereka ke ladang. Sesampainya di ladang, Men Karma, Pan Karma dan I Karma mulai mengetam padi. Namun hingga hari telah senja, ternyata pekerjaan itu belum selesai. Oleh karena itu, Pan Karma bersama isteri dan anaknya memutuskan untuk bermalam di pondok yang ada di ladang itu. Tidak berapa lama kemudian, karena terlalu lelah, mereka pun telah tertidur lelap.

Saat tengah malam, ketika sedang tidur lelap, Pan Karma didatangi oleh seorang kakek. Ia dibangunkan dan disuruh duduk di depan kakek itu. Setelah itu, si kakek berkata, “Nah, Pan Karma, terimalah pemberianku ini yang berupa sebotol minyak untuk menjaga rumah. Gantungkanlah di atap rumahmu. Minyak itu dijaga oleh seorang perempuan.” Setelah mengucapkan kata-kata dan memberikan sebotol minyak, kakek itu lenyap dengan tiba-tiba.

Keesokan harinya, pekerjaan menyekam padi dilanjutkan kembali. Setelah selesai, mereka bersiap-siap untuk membawa padi itu pulang. Sebelum berangkat mereka pun beristirahat. Sambil beristirahat Pan Karma menceritakan pengalamannya semalam kepada isterinya, “Men Karma, semalam aku memperoleh anugerah dari seorang kakek berupa botol minyak untuk menjaga rumah. Kakek itu mengatakan bahwa minyak ini hendaklah dipelihara baik-baik dan digantungkan di atap rumah kita.”

“O, baik benar kakek itu. Hendaklah kita simpan minyak itu dengan baik, agar dapat diwariskan kepada anak ataupun keturunan kita selanjutnya,” kata Men Karma.

Setelah agak sore, mereka pun berangkat pulang. Dan setiba di rumah, Men Karma dan I Karma segera memasukkan padi mereka ke lumbung yang ada di samping rumang. Sedangkan Pan Karma segera masuk ke dalam rumah untuk menggantungkan minyak itu di atap rumah. Setelah menggantung minyak pemberian si kakek, ia keluar dan ikut membantu isteri dan anaknya memasukkan padi ke lumbung.

Demikianlah kehidupan mereka. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan dan tahun pun berganti tahun. Suatu ketika, Pan Karma akhirnya meninggal dunia. Dan, tidak berapa lama kemudian Men Karma pun ikut meninggal dunia.

Sebelum Men Karma meninggal, ia sempat berpesan kepada anaknya, “Anakku, kukira umurku sudah tak lama lagi. Ada suatu hal yang harus ibu wasiatkan kepadamu. Bila ibu sudah tiada lagi, ingatlah pesanku ini. Ayahmu meninggalkan sebotol minyak dan digantung pada atap rumah. Simpanlah minyak itu baik-baik. Ia akan menemanimu menempati rumah ini, bila ibu sudah tiada lagi.”

“Minyak apakah itu ibu?” tanya I Karma.

“Bila nanti ibu meninggal, di sanalah saatnya kau mengetahui isi botol itu.”

Setelah memberikan penjelasan seperti itu, beberapa hari kemudian Men Karma pun meninggal dunia.

Setelah kedua orang tua I Karma meninggal dunia, I Karma semakin giat bekerja di ladang. Pagi-pagi benar ia telah berada di ladang, dan bila hari sudah mulai senja ia pun pulang. Begitulah hari demi hari dijalani oleh I Karma, sampai suatu ketika, setelah tiba di rumah, ia menjumpai hidangan yang telah siap untuk dimakan, lengkap dengan nasi dan lauk pauknya.

Melihat hidangan lezat itu, I Karma pun berpikir, “Siapakah yang mempersiapkan hidangan ini? Kelihatannya sangat istimewa. Siapakah yang mempersiapkannya? Ah, sebaiknya kumakan saja apa yang ada, bukankah ini rumahku?”

Keesokan harinya, seperti biasa, pergilah I Karma ke ladang lagi. Dan bila senja telah tiba ia pun pulang. Setelah tiba di rumah ia merasa sangat heran. Semua peralatan kotor yang ditinggalkannya telah bersih dan teratur rapi. Dan, sebelum ia sempat berpikir, telah dilihatnya pula hidangan yang lengkap tersedia untuk dimakan. Ia pun berpikir dalam hati, “Siapa yang menyediakan hidangan ini. Ah, lebih baik besok akan kuintip, agar kutahu siapa sebenarnya yang mempersiapkan hidangan ini.”

Demikianlah, keesokan harinya I Karma bersiap-siap untuk ke ladang. Tetapi setelah sampai di tengah perjalanan ia segera kembali pulang untuk mengetahui siapa sebenarnya yang mempersiapkan hidangan itu. Setelah di rumah ia mulai mengintip. Dan ia sangat terkejut ketika di dapur melihat seorang perempuan cantik sedang sibuk memasak. Kemudian I Karma perlahan-lahan mendekatinya dan tiba-tiba menangkap pinggang perempuan cantik itu.

Terasa ada sentuhan di badannya, wanita itu terkejut sambil melirik dan segera bertanya dengan suara lembut, “Siapakah yang berani memegang tubuhku?”

“Aku, I Karma.”

“Tolong lepaskan aku.”

“Aku tak mau melepaskanmu. Siapakah kau sebenarnya?”

“Aku bernama Ni Utami.”

“Apabila aku lepaskan, apakau kau akan meninggalkan aku?”

“O, tidak. Aku tak akan meninggalkan engkau. Aku selalu sedia melayanimu, karena engkau sudah memergoki aku.”

“Jadi kau bersedia menemani aku. Benarkah katamu itu? Aku sangat berterima kasih padamu.”

“Ya, benar. Aku berjanji untuk mendampingimu. Tetapi ingatlah. Bila aku sudah mendampingimu, tidakkah kau berniat memperisteriku?”

“Jika mungkin, aku memang akan mengharapkan agar engkau bersedia berumah tangga dengan aku.”

“Ya, baiklah. Aku bersedia. Tetapi ingatlah. Bila aku telah mempunyai seorang anak, berhati-hatilah menjagaku serta menjaga anakku. Demikianlah permintaanku kepadamu. Tepatilah sungguh-sungguh.”

“Baiklah. Aku akan selalu mentaati apa yang telah kau katakan itu.”

Singkat cerita, I Karma dan Ni Utami pun menikah dan beberapa tahun kemudian mereka mempunyai seorang anak.

Pada suatu hari, I Karma teringat akan wasiat ibunya mengenai botol minyak yang digantung di atap rumahnya. I Karma kemudian naik ke atap rumah dan mengambil botol tersebut. Namun isi di dalam botol itu telah tiada, sehingga I Karma bertanya kepada isterinya, “Mengapa botol minyak itu kosong? Adakah kau pergunakan isinya?”

“Tak ada. Aku tak pernah mempergunakan minyak. Tidakkah botol itu memang kosong?”

“Ah, tak apa. Mungkin memang sudah menguap karena terkena panas,” jawab I Karma.

Setelah percakapan itu I Karma menuju ke ladang untuk menanam padi. Siang harinya datanglah Ni Utami bersama bayinya ke ladang mengantarkan makan siang. Saat bertemu I Karma, sambil menggendong bayinya Ni Utami berkata, “Istirahatlah dulu. Aku mengantarkan hidangan untukmu.”

“Baiklah. Tunggulah sebentar. Aku hendak menyelesaikan pekerjaan ini,” jawab I Karma.

“Nanti disambung lagi, hari sangat terik,” kata Ni Utami.

I Karma tidak menghiraukan kata-kata isterinya, ia tetap bekerja. Beberapa saat kemudian, karena haus I Karma menyuruh isterinya mengambil air pada sebuah mata air yang letaknya agak jauh dari ladang mereka.

Mula-mula isterinya menolak, “Janganlah aku disuruh mengambil air. Hari amat panas. Aku tidak tahan kepanasan.”

“Kalau kau tak tahan mengapa datang ke mari. Lebih baik pulanglah. Bukankah kau tahu di ladang memang panas,” kata suaminya bernada marah dan mendesaknya terus untuk segera pergi mengambil air.

Karena tak tahan oleh desakan itu, akhirnya Ni Utami berangkat menuju ke mata air, sambil meninggalkan pesan, “Baiklah, aku akan pergi. Tetapi kau akan menyesal.”

Selanjutnya, Ni Utami berangkat menyusuri pematang menuju ke sebuah mata air. Jalannya sempoyongan dan tiba-tiba tersungkur jatuh ke mata air. Saat jatuh itu badannya hancur, meleleh terpencar di atas permukaan air. Ni Utama sebenarnya adalah penunggu botol minyak yang diberikan oleh si kakek misterius kepada Pan Karma sewaktu bermalam di ladang. Jadi, tubuh Ni Utami meleleh karena ia memang berasal dari minyak kelapa.

Karena telah lama ditinggalkan di ladang bersama ayahnya, anak Ni Utami merasa haus dan mulai menangis. I Karma terkejut melihat anaknya menangis. Karena tak tahan mendengar tangisan, ia pun mengambil anak tersebut serta memanggil isterinya, “Utami, Utami. Di manakah kau. Lama benar kau pergi.”

Namun, karena panggilan tersebut tidak juga dijawab oleh Ni Utami, I Karma lalu berangkat menyusul isterinya. Saat sampai di dekat mata air, tiba-tiba ia terkejut melihat minyak kelapa terpencar di atas permukaan air. Dan, teringatlah ia akan wasiat ibunya sebelum meninggal, bahwa ayahnya meninggalkan minyak di dalam botol. Ia baru sadar bahwa minyak yang dirawiskan oleh ayahnya itulah yang menjelma menjadi isterinya. I Karma merasa menyesal menyuruh isterinya mengambil air pada saat sinar matahari sedang panas menyengat.

Sementara itu, anak yang digendongnya terus saja menangis tak henti-hentinya. Segala usaha untuk membuatnya berhenti menangis tidak berhasil. I Karma tiba-tiba naik darah. Ia lupa akan dirinya. Dengan cepat dijangkaunya parang yang ada dipinggangnya, dan langsung mencincang bayi itu. Setelah itu lapanglah dada I Karma.

Beberapa bulan kemudian, karena merasa kesepian ditinggal anak dan isterinya, I Karma menikah lagi. Singkat cerita, setelah sekian lama menikah mereka belum juga dikaruniai seorang anak. Suatu hari, ketika sedang berada di kamar mereka, isterinya berkata, “Suamiku, mengapa kita tak bisa mempunyai anak. Aku sangat menginginkannya.”

“Jika demikian, marilah kita pergi memohon kepada Tuhan di tempat-tempat suci. Semoga kita berhasil memperoleh anak,” jawab I Karma.

“Baiklah, aku akan membuat canang genten (sejenis sesajen). Untuk sesajen di tempat suci. Semoga Tuhan memberkahi kita,” kata isterinya.

Setelah semuanya selesai, esok paginya berangkatlah mereka menuju ke sebuah tempat suci untuk memohon seorang anak. Sebelum sampai di tempat suci yang dituju, di tengah jalan bertemulah mereka dengan seorang bayi yang sedang menangis keras karena ingin menyusu.

“Suamiku, mengapa ada bayi menangis di selokan itu seorang diri. Lebih baik kita ambil dan kita bawa pulang. Rupanya permohonan kita telah terkabul.”

“Baiklah, ambil dan bawa pulang anak itu,” kata suaminya.

Isterinya pun lalu mengambil dan menggendongnya. Setiba di rumah, anak itu dibaringkan di kamar tidur. Isteri I Karma kemudian ke dapur untuk mempersiapkan makan malam. Saat menunggu makanan siap, I Karma merasa mengantuk dan ia langsung masuk ke kamar, berbaring di samping bayi yang baru ditemukannya itu. Akhirnya I Karma tertidur lelap.

Saat I Karma tertidur lelap, bayi pungutnya itu terbangun karena haus. Ia kemudian merayap mendekati puting susu I Karma. Namun, secara tiba-tiba, bayi tersebut berubah menjadi lintah sebesan bantal dan langsung menghisap darah lewat puting susu I Karma. Dan, tidak berapa lama kemudian, I Karma meninggal karena darahnya habis dihisap oleh lintah tersebut.

Itulah cerita tentang asal usul adanya lintah, yang merupakan penjelmaan seorang bayi setelah dicincang oleh ayahnya sendiri dan dilemparkan ke berbagai penjuru. Daging anak tersebut berubah menjadi lintah. Daging bayi yang terlempar ke air menjelma menjadi lintah dan yang terlempar ke daun-daun menjelma menjadi lintah darat.

Sumber:
Proyek Penerbitan dan Pencatatan Kebudayaan Daerah. 1981. Cerita Rakyat Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.



Labels: Cerita Rakyat, Folk Tales, Legenda, Nusa Tenggara Barat
Loro Jonggrang

Asal Mula Terjadinya Candi Prambanan

Candi Prambana (Loro Jonggrang)

Alkisah, pada dahulu kala terdapat sebuah kerajaan besar yang bernama Prambanan. Rakyatnya hidup tenteran dan damai. Tetapi, apa yang terjadi kemudian? Kerajaan Prambanan diserang dan dijajah oleh negeri Pengging. Ketentraman Kerajaan Prambanan menjadi terusik. Para tentara tidak mampu menghadapi serangan pasukan Pengging. Akhirnya, kerajaan Prambanan dikuasai oleh Pengging, dan dipimpin oleh Bandung Bondowoso.


Bandung Bondowoso seorang yang suka memerintah dengan kejam. "Siapapun yang tidak menuruti perintahku, akan dijatuhi hukuman berat!", ujar Bandung Bondowoso pada rakyatnya. Bandung Bondowoso adalah seorang yang sakti dan mempunyai pasukan jin. Tidak berapa lama berkuasa, Bandung Bondowoso suka mengamati gerak-gerik Loro Jonggrang, putri Raja Prambanan yang cantik jelita. "Cantik nian putri itu. Aku ingin dia menjadi permaisuriku," pikir Bandung Bondowoso.

Esok harinya, Bondowoso mendekati Loro Jonggrang. "Kamu cantik sekali, maukah kau menjadi permaisuriku ?", Tanya Bandung Bondowoso kepada Loro Jonggrang. Loro Jonggrang tersentak, mendengar pertanyaan Bondowoso. "Laki-laki ini lancang sekali, belum kenal denganku langsung menginginkanku menjadi permaisurinya", ujar Loro Jongrang dalam hati. "Apa yang harus aku lakukan ?". Loro Jonggrang menjadi kebingungan. Pikirannya berputar-putar. Jika ia menolak, maka Bandung Bondowoso akan marah besar dan membahayakan keluarganya serta rakyat Prambanan. Untuk mengiyakannya pun tidak mungkin, karena Loro Jonggrang memang tidak suka dengan Bandung Bondowoso.

"Bagaimana, Loro Jonggrang ?" desak Bondowoso. Akhirnya Loro Jonggrang mendapatkan ide. "Saya bersedia menjadi istri Tuan, tetapi ada syaratnya," Katanya. "Apa syaratnya? Ingin harta yang berlimpah? Atau Istana yang megah?". "Bukan itu, tuanku, kata Loro Jonggrang. Saya minta dibuatkan candi, jumlahnya harus seribu buah. "Seribu buah?" teriak Bondowoso. "Ya, dan candi itu harus selesai dalam waktu semalam." Bandung Bondowoso menatap Loro Jonggrang, bibirnya bergetar menahan amarah. Sejak saat itu Bandung Bondowoso berpikir bagaimana caranya membuat 1000 candi. Akhirnya ia bertanya kepada penasehatnya. "Saya percaya tuanku bias membuat candi tersebut dengan bantuan Jin!", kata penasehat. "Ya, benar juga usulmu, siapkan peralatan yang kubutuhkan!"

Setelah perlengkapan di siapkan. Bandung Bondowoso berdiri di depan altar batu. Kedua lengannya dibentangkan lebar-lebar. "Pasukan jin, Bantulah aku!" teriaknya dengan suara menggelegar. Tak lama kemudian, langit menjadi gelap. Angin menderu-deru. Sesaat kemudian, pasukan jin sudah mengerumuni Bandung Bondowoso. "Apa yang harus kami lakukan Tuan ?", tanya pemimpin jin. "Bantu aku membangun seribu candi," pinta Bandung Bondowoso. Para jin segera bergerak ke sana kemari, melaksanakan tugas masing-masing. Dalam waktu singkat bangunan candi sudah tersusun hampir mencapai seribu buah.

Sementara itu, diam-diam Loro Jonggrang mengamati dari kejauhan. Ia cemas, mengetahui Bondowoso dibantu oleh pasukan jin. "Wah, bagaimana ini?", ujar Loro Jonggrang dalam hati. Ia mencari akal. Para dayang kerajaan disuruhnya berkumpul dan ditugaskan mengumpulkan jerami. "Cepat bakar semua jerami itu!" perintah Loro Jonggrang. Sebagian dayang lainnya disuruhnya menumbuk lesung. Dung... dung...dung! Semburat warna merah memancar ke langit dengan diiringi suara hiruk pikuk, sehingga mirip seperti fajar yang menyingsing.

Pasukan jin mengira fajar sudah menyingsing. "Wah, matahari akan terbit!" seru jin. "Kita harus segera pergi sebelum tubuh kita dihanguskan matahari," sambung jin yang lain. Para jin tersebut berhamburan pergi meninggalkan tempat itu. Bandung Bondowoso sempat heran melihat kepanikan pasukan jin.

Paginya, Bandung Bondowoso mengajak Loro Jonggrang ke tempat candi. "Candi yang kau minta sudah berdiri!". Loro Jonggrang segera menghitung jumlah candi itu. Ternyata jumlahnya hanya 999 buah!. "Jumlahnya kurang satu!" seru Loro Jonggrang. "Berarti tuan telah gagal memenuhi syarat yang saya ajukan". Bandung Bondowoso terkejut mengetahui kekurangan itu. Ia menjadi sangat murka. "Tidak mungkin...", kata Bondowoso sambil menatap tajam pada Loro Jonggrang. "Kalau begitu kau saja yang melengkapinya!" katanya sambil mengarahkan jarinya pada Loro Jonggrang. Ajaib! Loro Jonggrang langsung berubah menjadi patung batu. Sampai saat ini candi-candi tersebut masih ada dan terletak di wilayah Prambanan, Jawa Tengah dan disebut Candi Loro Jonggrang.



Sumber : http://www.e-smartschool.com

Photo : http://db5.skyscrapercity.com/showthread.php?t=583797&page=8



Labels: Cerita Rakyat, Folk Tales, Jawa Tengah, Legenda
Legenda Simardan – Durhaka Kepada Orang Tua, Berubah Wujud Menjadi Pulau

Kisah dan cerita tentang legenda anak durhaka. Di antaranya, Malin Kundang di Sumatera Barat yang disumpah menjadi batu, Sampuraga di Mandailing Natal Sumatera Utara yang konon katanya, berubah menjadi sebuah sumur berisi air panas.
Di Kota Tanjungbalai, akibat durhaka terhadap ibunya, seorang pemuda dikutuk menjadi sebuah daratan yang dikelilingi perairan, yakni Pulau Simardan.

Berbagai cerita masyarakat Kota Tanjungbalai, Simardan adalah anak wanita miskin dan yatim. Pada suatu hari, dia pergi merantau ke negeri seberang, guna mencari peruntungan.

Setelah beberapa tahun merantau dan tidak diketahui kabarnya, suatu hari ibunya yang tua renta, mendengar kabar dari masyarakat tentang berlabuhnya sebuah kapal layar dari Malaysia. Menurut keterangan masyarakat kepadanya, pemilik kapal itu bernama Simardan yang tidak lain adalah anaknya yang bertahun-tahun tidak bertemu.
Bahagia anaknya telah kembali, ibu Simardan lalu pergi ke pelabuhan. Di pelabuhan, wanita tua itu menemukan Simardan berjalan bersama wanita cantik dan kaya raya. Dia lalu memeluk erat tubuh anaknya Simardan, dan mengatakan, Simardan adalah anaknya. Tidak diduga, pelukan kasih dan sayang seorang ibu, ditepis Simardan. Bahkan, tanpa belas kasihan Simardan menolak tubuh ibunya hingga terjatuh.

Walaupun istrinya meminta Simardan untuk mengakui wanita tua itu sebagai ibunya, namun pendiriannya tetap tidak berubah. Selain itu, Simardan juga mengusir ibunya dan mengatakannya sebagai pengemis.

Berasal Dari Tapanuli
Sebelum terjadinya peristiwa tersebut, Pulau Simardan masih sebuah perairan tempat kapal berlabuh. Lokasi berlabuhnya kapal tersebut, di Jalan Sentosa Kelurahan Pulau Simardan Lingkungan IV Kota Tanjungbalai, kata tokoh masyarakat di P. Simardan, H.Daem, 80, warga Jalan Mesjid P. Simardan Kota Tanjungbalai.
Tanjungbalai, terletak di 20,58 LU (Lintang Utara) dan 0,3 meter dari permukaan laut. Sedangkan luasnya sekitar 6.052,90 ha dengan jumlah penduduk kurang lebih 144.979 jiwa (sensus 2003-red).
Walaupun peristiwa tersebut terjadi di daerah Tanjungbalai, Daem mengatakan, Simardan sebenarnya berasal dari hulu Tanjungbalai atau sekitar daerah Tapanuli.Hal itu juga dikatakan tokoh masyarakat lainnya, Abdul Hamid Marpaung, 75, warga Jalan Binjai Semula Jadi Kota Tanjungbalai. “Daerah asal Simardan bukan Tanjungbalai, melainkan di hulu Tanjungbalai, yaitu daerah Porsea Tapanuli,” jelasnya.

Menjual Harta Karun
Dari berbagai cerita atau kisah tentang legenda anak durhaka, biasanya anak pergi merantau untuk mencari pekerjaan, dengan tujuan merubah nasib keluarga.Berbeda dengan Simardan, dia merantau ke Malaysia untuk menjual harta karun yang ditemukannya di sekitar rumahnya, kata Marpaung.

“Simardan bermimpi lokasi harta karun. Esoknya, dia pergi ke tempat yang tergambar dalam mimpinya, dan memukan berbagai macam perhiasan yang banyak,” tutur Marpaung. Kemudian, Simardan berencana menjual harta karun yang ditemukannya itu, dan Tanjungbalai merupakan daerah yang ditujunya. Karena, jelas Marpaung, berdiri kerajaan besar dan kaya di Tanjungbalai. Tapi setibanya di Tanjungbalai, tidak satupun kerajaan yang mampu membayar harta karun temuan Simardan, sehingga dia terpaksa pergi ke Malaysia. “Salah satu kerajaan di Pulau Penang Malaysialah yang membeli harta karun tersebut. Bahkan, Simardan juga mempersunting putri kerajaan itu,” ungkapnya.
Berbeda dengan keterangan Marpaung, menurut H.Daem, tujuan Simardan pergi merantau ke Malaysia untuk mencari pekerjaan. Setelah beberapa tahun di Malaysia, Simardan akhirnya berhasil menjadi orang kaya dan mempersunting putri bangsawan sebagai isterinya.

Malu
Setelah berpuluh tahun merantau, Simardan akhirnya kembali ke Tanjungbalai bersama isterinya. Kedatangannya ke Tanjungbalai, menurut Daem, untuk berdagang sekaligus mencari bahan-bahan kebutuhan. Kalau menurut Marpaung, Simardan datang ke Tanjungbalai dilandasi karena tidak memiliki keturunan. Jadi atas saran orang tua di Malaysia, pasangan suami isteri itu pergi ke Tanjungbalai. Lebih lanjut dikatakan Marpaung, berita kedatangan Simardan di Tanjungbalai disampaikan masyarakat kepada ibunya. Gembira anak semata wayangnya kembali ke tanah air, sang ibu lalu mempersiapkan berbagai hidangan, berupa makanan khas keyakinan mereka yang belum mengenal agama. “Hidangan yang disiapkan ibunya adalah makanan yang diharamkan dalam agama Islam,” tutur Marpaung.
Dengan sukacita, ibu Simardan kemudian berangkat menuju Tanjungbalai bersama beberapa kerabat dekatnya. Sesampainya di Tanjungbalai, ternyata sikap dan perlakuan Simardan tidak seperti yang dibayangkannya.
Simardan membantah bahwa orang tua tersebut adalah wanita yang telah melahirkannya. Hal itu dilakukan Simardan, jelas Marpaung, karena dia malu kepada isterinya ketika diketahui ibunya belum mengenal agama. “Makanan yang dibawa ibunya adalah bukti bahwa keyakinan mereka berbeda.”Sementara menurut H. Daem, perlakuan kasar Simardan karena malu melihat ibunya yang miskin. “Karena miskin, ibunya memakai pakaian compang-comping. Akibatnya, Simardan tidak mengakui sebagai orangtuanya.”

Kera Putih dan Tali Kapal
Setelah diperlakukan kasar oleh Simardan, wanita tua itu lalu berdoa sembari memegang payudaranya. “Kalau dia adalah anakku, tunjukkanlah kebesaran-Mu,” begitulah kira-kira yang diucapkan ibu Simardan. Usai berdoa, turun angin kencang disertai ombak yang mengarah ke kapal layar, sehingga kapal tersebut hancur berantakan. Sedangkan tubuh Simardan, menurut cerita Marpaung dan Daem, tenggelam dan berubah menjadi sebuah pulau bernama Simardan.

Para pelayan dan isterinya berubah menjadi kera putih, kata Daem dan Marpaung. Hal ini disebabkan para pelayan dan isterinya tidak ada kaitan dengan sikap durhaka Simardan kepada ibunya. Mereka diberikan tempat hidup di hutan Pulau Simardan. “Sekitar empat puluh tahun lalu, masih ditemukan kera putih yang diduga jelmaan para pelayan dan isteri Simardan,” jelas Marpaung. Namun, akibat bertambahnya populasi manusia di Tanjungbalai khususnya di Pulau Simardan, kera putih itu tidak pernah terlihat lagi.

Di samping itu, sekitar tahun lima puluhan masyarakat menemukan tali kapal berukuran besar di daerah Jalan Utama Pulau Simardan. Penemuan terjadi, ketika masyarakat menggali perigi (sumur). Selain tali kapal ditemukan juga rantai dan jangkar, yang diduga berasal dari kapal Simardan, kata Marpaung.“Benar tidaknya legenda Simardan, tergantung persepsi kita. Tapi dengan ditemukannya tali, rantai dan jangkar kapal membuktikan bahwa dulu Pulau Simardan adalah perairan.”

Sumber :
Rahmad F Siregar (sn) , Waspada Online
http://www.silaban.net/
http://uun-halimah.blogspot.com/search/label/cerita%20rakyat?updated-max=2008-06-14T12%3A45%3A00-07%3A00&max-results=20




Labels: Cerita Rakyat, Folk Tales, Legenda, Sumatera Utara