Pajak
seyogianya diambil seperlima dari hasil panen. Bagian itu bisa berwujud
padi, palawija, atau hasil pertanian lainnya, semuanya harus diserahkan
kepada tuan tanah. Setelah tahun 1912, tuan tanah tidak mau lagi
menerima bagian pajaknya. Dia minta kenaikan dua kali lipat. Alasannya,
antara lain karena hasil panen jauh lebih bagus dari musim lalu. Dengan
perbaikan sistem irigasi dari
sungai ke
sawah-sawah membuat hasil panen berlipat ganda, serta akibat pengukuran
ulang. Tidak diremehkan pula kegigihan para mandor melakukan kontrol
menjelang potong padi.
Umumnya para petani keberatan. Kenaikan 20% bukan hal ringan. Pajak
yang berat. Para petani usul agar pajak itu diganti dengan sewa tanah.
Akan tetapi, tuan tanah menolak sebab dialah yang berkuasa. Jadi, dia
pulalah yang menentukan. Mereka yang merasa keberatan lebih baik pindah
ke
gunungsaja.
Praktek-praktek busuk para mandor beserta centeng-centengnya di sawah
waktu menimbang padi sangat meresahkan para petani. Kalau menimbang
padi untuk pajak tuan tanah dilebih-lebihkan. Pihak petani dirugikan
terus. Merekalah yang selalu menerima bagian paling buruk dan paling
sedikit.
Kegiatan lain yang meresahkan para petani adatah “kompenian”, yaitu
kerja bakti tanpa upah untuk kepentingan para tuan tanah. Para petani
dan warga desa, laki-laki dewasa pada umumnya, bersungut-sungut. Mereka
sering berbisik-bisik atau berunding sembunyi-sembunyi untuk melakukan
perlawanan.
“Patahkan saja lehernya!”
Salah seorang petani dan warga desa lainnya menyambut dengan bersemangat, “Ya, nanti kita patahkan lehernya!”
Suasana makin panas.
Tuan tanah tahu suasana panas itu. Para petani dan warga desa tidak
main-main. Oleh karena itu, permintaan agar pajak diganti dengan sewa
tanah diluluskan. Akan tetapi, banyak petani yang akhirnya tidak mampu
membayar. Barang-barang mereka dirampas mandor dan diserahkan kepada
tuannya. Kalau tetap tidak bisa membayar sewa tanah, atau tidak ada
lagi barang untuk menutup, rumah harus dijual. Pembelinya tuan tanah
juga dengan harga amat murah.
Tuan tanah sering hanya mendapat rumah rusak. Dia lalu memerintahkan
mandor dan para centeng untuk membakar. Petani-petani malang itu makin
sengsara. Sejak itu suasana semakin buruk.
Pada tanggal 14 Mei 1914 ada suatu peristiwa, yaitu Taha dihadapkan ke
pengadilan. Dia petani dari Batuampar. Dia diputuskan pengadilan harus
membayar pajak sebesar 7 gulden. Kalau tidak bisa membayar, rumahnya
akan segera disita.
Kemudian, Taha bercerita kepada kawan-kawannya. Mereka berkumpul di
kebun Jaimin, tidak jauh dari rumah Taha, Orang-orang itu diberi
semangat oleh Entong Gendut. Lalu, mereka berteriak bahwa putusan itu
tidak adil.
Kenyataannya, tiga hari kemudian rumah Taha disita, Tuan tanah hanya
membayar 4 1/2 gulden. Untuk melunasi utang pajak saja masih kurang.
Gema tidak puas melanda Batuampar, Entong Gendut dan kawan-kawannya
marah sekali. Namun, untuk melakukan perlawanan terhadap tuan tanah,
Para mandor, dan centengnya, masih dirasa berat bagi Entong Gendut. Dia
dan kawan-kawannya harus mempersiapkan din terlebih dulu, antara lain
dengan belajar dan berlatih silat. Entong Gendut sebagai pelatih karena
sejak dulu dia dikenal sebagai
pendekar.
Entong Gendut dibantu Modin dan Maliki. Mereka dari Batuampar juga.
Anggota perkumpulan silatnya semula hanya beberapa gelintir orang,
tetapi akhirnya bertambah, mencapai lebih dari 400 orang. Di antaranya
yang bersungguh-sungguh adalah Haji Amat Awab, Said Keramat, Nadi, dan
Dullah. Orang-orang Arab ada juga yang ikut, antara lain Ahmad Alhadat,
Said Muksin Alatas dari Cawang, dan Alaidrus dari Cililitan.
Peristiwa berikutnya terjadi di Vila Nova, rumah mewah milik Lady
Rollinson di Cililitan Besar. Malam itu tanggal 5 April 1916
berlangsung pesta amat meriah. Hiburan untuk rakyat sekitar juga
semarak. Tuan Ament pemilik tanah luas di Tanjung Timur datang dengan
mobilnya. Sebelum sampai di jembatan, sekelompok orang tidak dikenal
melempari mobilnya dengan batu. Tuan Ament tidak mempersoalkan kaca
belakang mobilnya yang pecah dan
penyok-penyok itu. Dia bergegas masuk ke pelataran rumah Lady
Rollinson. Di situ dia bergabung dengan tamu-tamu terhormat lainnya.
Dia ikut menyaksikan hidangan seni berupa musik dan tari-tarian yang
menyenangkan. Dia merasakan nikmatnya wiski, gurihnya daging kalkun,
dan semerbaknya panggang babi. Dia bertukar pengalaman dengan
kawan-kawannya yang sederajat. Ada tuan tanah Kemayoran, tuan tanah
Pondok Gede, para wedana, serta tidak ketinggalan pula noni-noni
bermata biru berambut pirang dan sinyo-sinyo yang tertawa-tawa kecil
dan agak malu-malu.
Di luar halaman berpagar tinggi itu rakyat menonton hiburan gratis
seperti topeng dan wayang kulit. Mereka berjubel. Sekali-sekali mereka
yang berada di luar pagar itu memperhatikan pemandangan pesta di
halaman rumah Lady Rollinson.
Pesta di dalam makin menghangat. Pasangan-pasangan berdansa diiringi
musik. Lalu, mendekatlah seorang pelayan kepada Lady Rollinson.
“Bagaimana, Tija?” tanya nyonya majikannya. “Saya sudah tahu, Nyonya.”
“Jadi, benar Entong Gendut pimpinannya?”
“Tidak salah, Nyonya.”
“Dia pula yang menggerakkan orang untuk melempari mobil tuan Ament?”
“Ya, Nyonya.”
Lady Rollinson mendekati Tuan Ament dan menganjurkan agar dia melapor ke komandan polisi dengan cepat.
“Tentu saja, Lady Rollinson,” jawab Tuan Ament, “pada waktu yang
diperlukan saya bisa bertindak cepat. Sekarang tenang saja dulu.”
Tiba-tiba tetabuhan di luar pagar berhenti. Orang-orang yang berjualan makanan dan minuman
menutup kegiatannya. Para penonton bubar dan pulang ke rumah
masing-masing. Seketika sepi dan lampu-lampu keramaian dimatikan. Hal
itu membuat tamu-tamu yang berpesta di rumah Lady Rollinson mulai
berpikir, jangan-jangan bahaya mengancam. Daripada terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan, lebih baik mereka minta diri kepada nyonya rumah.
Mereka tergesa-gesa pulang dengan bendi atau mobil. Lady Rollinson ikut
gelisah dan marah. Dia segera lapor kepada komandan polisi dan berkeluh
kesah kepada residen.
Sementara itu, pengaruh Entong Gendut dan pembantu-pembantu dekatnya
makin kuat. Apa yang dikatakan Entong Gendut diikuti semua oleh warga
Batuampar dan sekitarnya. Wedana Meester Cornelis didatangi bawahannya
yang menyampaikan laporan. Ia mengatakan bahwa pengaruh bek di
kelurahan tidak bermanfaat lagi. Telinga dan mulut Entong Gendut ada di
mana-mana.
Wedana Meester Cornelis dikawal komandan pasukan serta polisi melakukan
peninjauan ke Batuampar. Di depan rumah yang diduga milik Entong
Gendut, dia langsung memerintahkannya keluar, kalau tidak pintu akan
didobrak. Entong Gendut menjawab dari dalam akan bersembahyang dulu.
Selesai sembahyang, Entong Gendut menampakkan diri. Dia berjubah putih,
di dadanya tersembul keris, dan tangannya memegang tombak panjang. Para
pengawalnya bersorban dan bertombak berdiri di belakangnya.
“Aku raja dan aku tidak mau tunduk kepada siapa pun. Aku tidak mau mengikuti pimpinan hukum, apalagi buatan
Belanda.”
Wedana
Meester Cornelis berunding dengan opsir-opsir polisi. Sementara itu
Entong Gendut meneruskan bicaranya, “Wedana, ketahuilah. Aku amat malu
kepada kawan-kawanku para tuan tanah. Mereka telah membakar rumah
penduduk miskin. Apa salah mereka? Hanya karena mereka petani miskin
dan tidak mampu membayar pajak serta sewa tanah yang mahal, lalu rumah
mereka dihanguskan? Amat disayangkan!”
Para pengikut Entong Gendut lainnya keluar dari semak-semak. Mereka
bersenjatakan panah dan tombak. Wedana dan para pengawalnya kaget
sekali. Dia lalu memerintahkan untuk melepaskan tembakan, ramailah
kampung Batuampar. Tidak sedikit polisi kena bacok dan tertembus anak
pariah. Entong Gendut bersuara lantang. Teriakan-teriakan Allahu Akbar
menggema.
“Amuk, amuk!” teriak anak buah Entong Gendut sambil melemparkan tombak
dan mengayunkan pedang. Serdadu Bala bantuan datang. Anak buah Entong
Gendut banyak yang bergelimpangan. Beberapa rumah terbakar, penduduk
yang tua, kaum perempuan, dan anak-anak diungsikan. Akan tetapi, korban
warga Batuampar semakin banyak juga.
Entong Gendut terluka. Dadanya tertembus peluru, darah segar mewarnai
jubahnya yang putih. Anak buahnya mengerumuninya. Wedana Meester
Cornelis memerintahkan komandan pasukan untuk mengikat tangan Entong
Gendut. Lalu, dia dinaikkan ke tandu dan diangkut ke Rumah Sakit Kwini.
Namun, di tengah perjalanan, Entong Gendut tidak bernapas lagi. Para
pengikutnya dikejar-kejar polisi. Mereka terus dicari sampai ke Condet
dan Tanjung Timur. Setelah tertangkap, mereka dimasukkan ke penjara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar